BAB I
Pendahuluan
A.
Latar Belakang
Pada masa Rasulullah SAW. masih hidup, istilah Aswaja
sudah pernah ada tetapi tidak menunjuk pada kelompok tertentu atau aliran
tertentu. Yang dimaksud dengan Ahlussunah wal Jama’ah adalah orang-orang Islam
secara keseluruhan.
Ada sebuah
hadits yang mungkin perlu dikutipkan telebih dahulu:
إن بني إسرائيل تفترق على ثنتين
وسبعين ملة وستفترق أمتي على ثلاث وسبعين ملة كلهم في النار إلا ملة واحدة، قالوا
من هي يارسول الله: قال ما انا عليه وأصحابي.
Artinya : Rasulullah SAW bersabda: “ Sesungguhnya bani
Israil akan terpecah menjadi 70 golongan dan ummatku terpecah menjadi 73
golongan dan semuanya masuk neraka kecuali satu golongan. Para Shohabat
bertanya : Siapa yang satu golongan itu? Rasulullah SAW. menjawab : yaitu
golongan dimana Aku dan Shahabatku berada. Hadits inilah yang sering digunakan
oleh orang-orang NU sebagai salah satu dalil atau dasar tentang Ahlussunah wal
Jamaah.
Ahli
sunnah wal jamaah adalah suatu golongan yang menganut syariat islam yang
berdasarkan pada alqur`an dan al hadis dan beri`tikad apabila tidak ada dasar
hukum pada alqur`an dan hadis
Inilah kemudian kita sampai pada pengertian Aswaja.
Pertama kalau kita melihat ijtihadnya para ulama-ulama merasionalkan dan
memecahkan masalah jika didalam alqur`an dan hadis tidak menerangkanya.
Definisi kedua adalah (melihat cara berpikir dari berbagai kelompok aliran yang
bertentangan); orang-orang yang memiliki metode berpikir keagamaan yang
mencakup aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar moderasi menjaga
keseimbangan dan toleransi. Ahlussunah wal Jama’ah ini tidak mengecam
Jabariyah, Qodariyah maupun Mu’tazilah akan tetapi berada di tengah-tengah
dengan mengembalikan pada ma anna alaihi wa ashabihi.Nah itulah latar belakang
sosial dan latar belakang politik munculnya paham Aswaja. Jadi tidak muncul
tiba-tiba tetapi karena ada sebab, ada ekstrim mutazilah yang serba akal, ada
ekstrim jabariyah yang serba taqdir, aswaja ini di tengah-tengah. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa Aswaja sebagai sebuah paham keagamaan (ajaran)
maupun sebagai aliran pemikiran (manhajul fiqr) kemunculannya tidak bisa
dilepaskan dari pengaruh dinamika sosial politik pada waktu itu, lebih khusus
sejak peristiwa Tahqim yang melibatkan Sahabat Ali dan sahabat Muawiyyah
sekitar akhir tahun 40 H.]
Ahli sunnah wal jamaah pemikiranya menggunakan
pemikiran al asyari dan hukum fiqihnyanya menggunakan imam madzhab sehingga
golongan aswaja inilah golongan yang sifatnya luas.
B. Rumusan Masalah
Apa yang di
maksud dengan Ahlussunnah wal jama`ah?
Apa yang
menjadikan ruang Lingkup Aswaja?
Apa
pengertian dari Tabiin?
BAB II
ISI
AHLUSSUNNAH
WAL JAMA`AH
A. Pengertian Aswaja
Ahlussunnah
Wal Jama’ah Menurut Syekh Abu al-Fadl ibn Syekh ‘Abdus Syakur al-Senori dalam
kitab karyanya “al-Kawâkib al-Lammâ‘ah fî Tahqîq al-Musammâ bi Ahli
al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah” (kitab ini telah disahkan oleh Muktamar NU ke
XXlll di Solo Jawa Tengah) menyebutkan definisi Ahlussunnah wal jama’ah
sebagai: kelompok atau golongan yang senantiasa komitmen mengikuti sunnah Nabi saw.
dan thariqah para sahabatnya dalam hal akidah, amaliyah fisik (fiqh), dan
akhlaq batin (tasawwuf). Syekh ‘Abdul Qodir al-Jilani mendefinisikan
Ahlussunnah wal jama’ah sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan as-Sunnah adalah
apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah saw. (meliputi ucapan, prilaku, serta
ketetapan beliau). Sedangkan yang dimaksud dengan pengertian jama’ah adalah
segala sesuatu yang yang telah disepakati oleh para sahabat Nabi saw. pada masa
Khulafa’ ar-Rasyidin yang empat yang telah diberi hidayah Allah.”
Secara historis, para imam Aswaja di bidang akidah
telah ada sejak zaman para sahabat Nabi saw. sebelum munculnya paham
Mu’tazilah. Imam Aswaja pada saat itu diantaranya adalah ‘Ali bin Abi Thalib
ra., karena jasanya menentang pendapat Khawarij tentang al-Wa‘d wa
al-Wa‘îd dan pendapat Qadariyah tentang kehendak Allah dan daya
manusia. Di masa tabi’in ada beberapa imam, mereka bahkan menulis beberapa
kitab untuk mejelaskan tentang paham Aswaja, seperti ‘Umar bin ‘Abd al-Aziz
dengan karyanya “Risâlah Bâlighah fî Raddi ‘alâ al-Qadariyah”. Para
mujtahid fiqh juga turut menyumbang beberapa karya teologi untuk menentang
paham-paham di luar Aswaja, seperti Abu Hanifah dengan kitabnya “Al-Fiqh
al-Akbar”, Imam Syafii dengan kitabnya “Fi Tashîh al-Nubuwwah
wa al-Radd ‘alâ al-Barâhimah”. Generasi Imam dalam teologi Aswaja sesudah
itu kemudian diwakili oleh Abu Hasan al-Asy’ari (260 H – 324 H), lantaran
keberhasilannya menjatuhkan paham Mu’tazilah.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa akidah Aswaja
secara substantif telah ada sejak masa para sahabat Nabi saw. Artinya paham
Aswaja tidak mutlak seperti yang dirumuskan oleh Imam al-Asy’ari, tetapi beliau
adalah salah satu di antara imam yang telah berhasil menyusun dan merumuskan
ulang doktrin paham akidah Aswaja secara sistematis sehingga menjadi pedoman
akidah Aswaja.
Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, istilah
Aswaja secara resmi menjadi bagian dari disiplin ilmu keislaman. Dalam hal
akidah pengertiannya adalah Asy’ariyah atau Maturidiyah. Imam Ibnu Hajar
al-Haytami berkata: Jika Ahlussunnah wal jama’ah disebutkan, maka yang dimaksud
adalah pengikut rumusan yang digagas oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Imam
Abu Manshur al-Maturidi. Dalam fiqh adalah mazhab empat, Hanafi, Maliki,
Syafi’i, dan Hanbali. Dalam tasawuf adalah Imam al-Ghazali, Abu Yazid
al-Bisthomi, Imam al-Junaydi, dan ulama-ulama lain yang sepaham. Semuanya
menjadi diskursus Islam paham Ahlussunnah wal jama’ah.
Secara teks, ada beberapa dalil Hadits yang dapat
dijadikan dalil tentang paham Aswaja, sebagai paham yang menyelamatkan umat
dari kesesatan, dan juga dapat dijadikan pedoman secara substantif. Di antara
teks-teks Hadits Aswaja adalah:
افْتَرَقَتْ الْيَهُودُ عَلَى إحْدَى
وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَافْتَرَقَتْ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ
فِرْقَةً وَ سَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، كُلُّهُمْ
فِي النَّارِ إلَّا وَاحِدَةً. قَالُوا: مَنْ هم يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: مَا
أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي. رَوَاهُ أَبُو دَاوُدوَالتِّرْمِذِيُّ وَابْنُ
مَاجَهْ
Dari Abi Hurayrah ra. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Terpecah umat
Yahudi menjadi 71 golongan. Dan terpecah umat Nasrani menjadi 72 golongan. Dan
akan terpecah umatku menjadi 73 golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu.”
Berkata para sahabat, “Siapakah mereka wahai Rasulullah?” Rasulullah
saw. Menjawab, “Mereka adalah yang mengikuti aku dan para sahabatku.” (HR. Abu
Dawud, Turmudzi, dan Ibnu Majah)
Jadi inti paham Ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja)
seperti yang tertera dalam teks Hadits adalah paham keagamaan yang sesuai
dengan sunnah Nabi saw. dan petunjuk para sahabatnya.
B. Ruang Lingkup Aswaja
Karena
secara substansi paham Aswaja adalah Islam itu sendiri, maka ruang lingkup
Aswaja berarti ruang lingkup Islam itu sendiri, yakni aspek akidah, fiqh, dan
akhlaq. Seperti disebutkan oleh para ulama Aswaja, bahwa aspek yang paling krusial
di antara tiga aspek di atas adalah aspek akidah. Aspek ini krusial, karena
pada saat Mu’tazilah dijadikan paham keagamaan Islam resmi pemerintah oleh
penguasa Abbasiyah, terjadilah kasus mihnah yang cukup
menimbulkan keresahan ummat Islam. Ketika Imam al-Asy’ari tampil berkhotbah
menyampaikan pemikiran-pemikiran teologi Islamnya sebagai koreksi atas
pemikiran teologi Mu’tazilah dalam beberapa hal yang dianggap bid’ah atau
menyimpang, maka dengan serta merta masyarakat Islam menyambutnya dengan
positif, dan akhirnya banyak umat Islam menjadi pengikutnya yang kemudian
disebut dengan kelompok Asy’ariyah dan terinstitusikan dalam bentuk Madzhab
Asy’ari.
Ditempat
lain yakni di Samarqand Uzbekistan, juga muncul seorang Imam Abu Manshur
al-Maturidi (w. 333 H) yang secara garis besar rumusan pemikiran teologi
Islamnya paralel dengan pemikiran teologi Asy’ariyah, sehingga dua imam inilah
yang kemudian diakui sebagai imam penyelamat akidah keimanan, karena karya
pemikiran dua imam ini tersiar ke seluruh belahan dunia dan diakui sejalan
dengan sunnah Nabi saw. serta petunjuk para sahabatnya, meskipun sebenarnya
masih ada satu orang ulama lagi yang sepaham, yaitu Imam al-Thahawi (238 H –
321 H) di Mesir. Akan tetapi karya beliau tidak sepopuler dua imam yang pertama. Akhirnya
para ulama menjadikan rumusan akidah Imam Asy’ari dan Maturidi sebagai pedoman
akidah yang sah dalam Aswaja.
Secara
materiil banyak produk pemikiran Mu’tazilah yang, karena metodenya lebih
mengutamakan akal daripada nash (Taqdîm al-‘Aql ‘alâ al-Nash), dinilai
tidak sejalan dengan sunnah, sehingga sarat dengan bid’ah, maka secara
spontanitas para pengikut imam tersebut bersepakat menyebut sebagai kelompok
Aswaja, meskipun istilah ini bahkan dengan pahamnya telah ada dan berkembang
pada masa-masa sebelumnya, tetapi belum terinstitusikan dalam bentuk mazhab. Karena itu, secara historis term aswaja baru dianggap secara resmi muncul
dari periode ini. Setidaknya dari segi paham telah berkembang sejak masa ‘Ali
bin Abi Thalib ra., tetapi dari segi fisik dalam bentuk mazhab baru terbentuk
pada masa al-Asy’ari, al-Maturidi, dan al-Thahawi.
Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, istilah
Aswaja secara resmi menjadi bagian dari disiplin ilmu keislaman. Dalam hal
akidah pengertiannya adalah Asy’ariyah atau Maturidiyah, dalam fiqh adalah
mazhab empat, dan dalam tasawuf adalah al-Ghazali dan ulama-ulama yang sepaham.
Semuanya menjadi diskursus Islam paham Sunni.
Ruang lingkup yang kedua adalah syari’ah atau fiqh,
artinya paham keagamaan yang berhubungan dengan ibadah dan mu’amalah. Sama
pentingnya dengan ruang lingkup yang pertama, yang menjadi dasar keyakinan
dalam Islam, ruang lingkup kedua ini menjadi simbol penting dasar keyakinan.
Karena Islam agama yang tidak hanya mengajarkan tentang keyakinan tetapi juga
mengajarkan tentang tata cara hidup sebagai seorang yang beriman yang
memerlukan komunikasi dengan Allah swt., dan sebagai makhluk sosial juga perlu
pedoman untuk mengatur hubungan sesama manusia secara harmonis, baik dalam
kehidupan pribadi maupun sosial.
Dalam konteks historis, ruang lingkup yang kedua
ini disepakati oleh jumhur ulama bersumber dari empat mazhab, yakni Hanafi,
Maliki, Syafii dan Hanbali. Secara substantif, ruang lingkup yang kedua ini
sebenarnya tidak terbatas pada produk hukum yang dihasilkan dari empat madzhab
di atas, produk hukum yang dihasilkan oleh imam-imam mujtahid lainnya, yang
mendasarkan penggalian hukumnya melalui al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas,
seperti, Hasan Bashri, Awzai, dan lain-lain juga tercakup dalam lingkup
pemikiran Aswaja, karena mereka memegang prinsip utama Taqdîm al-Nash
‘alâ al-‘Aql(mengedepankan daripada akal).
Ruang lingkup ketiga dari Aswaja adalah akhlak atau
tasawuf. Wacana ruang lingkup yang ketiga ini difokuskan pada wacana akhlaq
yang dirumuskan oleh Imam al-Ghazali, Abu Yazid al-Busthami, dan al-Junayd
al-Baghdadi, serta ulama-ulama sufi yang sepaham. Ruang lingkup ketiga ini
dalam diskursus Islam dinilai penting karena mencerminkan faktor ihsan dalam
diri seseorang. Iman menggambarkan keyakinan, sedang Islam menggambarkan
syari’ah, dan ihsan menggambarkan kesempurnaan iman dan Islam. Iman ibarat
akar, Islam ibarat pohon. Artinya manusia sempurna, ialah manusia yang
disamping bermanfaat untuk dirinya, karena ia sendiri kuat, juga memberi
manfaat kepada orang lain. Ini yang sering disebut dengan insan kamil. Kalau
manusia memiliki kepercayaan tetapi tidak menjalankan syari’at, ibarat akar
tanpa pohon, artinya tidak ada gunanya. Tetapi pohon yang berakar dan rindang
namun tidak menghasilkan buah, juga kurang bermanfaat bagi kehidupan. Jadi
ruang lingkup ini bersambung dengan ruang lingkup yang ketiga, sehingga
keberadaannya sama pentingnya dengan keberadaan ruang lingkup yang pertama dan
yang kedua, dalam membentuk insan kamil.
Pada dasarnya tidak ada perbedaan secara prinsipil
di antara kelompok dan mazhab dalam Islam. Pertama, dalam hal sumber ajaran
Islam, semuanya sama-sama meyakini al-Qur’an dan al-sunnah sebagai sumber utama
ajaran Islam; Kedua, para ulama dari masing-masing kelompok tidak ada yang
berbeda pendapat mengenai pokok-pokok ajaran Islam, seperti keesaan Allah swt.,
kewajiban shalat, zakat dan lain-lain. Tetapi, mereka berbeda dalam beberapa
hal di luar ajaran pokok Islam, lantaran berbeda di dalam manhaj bepikirnya,
terutama diakibatkan oleh perbedaan otoritas akal dalam menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an dan teks-teks sunnah. Masing masing firqah dalam pemikiran Islam,
memiliki manhaj sendiri-sendiri.
Mu’tazilah disebut kelompok liberal dalam Islam.
Keliberalan Mu’tazilah, berpangkal dari paham bahwa akal, sebagai anugerah
Allah swt., memiliki kekuatan untuk mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan
Allah swt. dan hal-hal yang dianggap baik dan buruk. Sementara bagi kelompok
Asy’ariyah, akal tidak sanggup untuk mengetahui hal tersebut, kecuali ada
petunjuk dari naql atau nash. Kelompok Maturidiyah
sedikit lebih ‘menengah’ dengan pernyataanya, bahwa perbuatan manusia
mengandung efek yang disebut baik atau buruk, apa yang dinyatakan oleh akal
baik, tentu ia adalah baik, dan sebaliknya, akan tetapi tidak semua perbuatan
manusia pasti sesuai dengan jangkauan akal untuk menilai baik dan buruknya.
Dalam keadaan seperti ini, maka baik dan buruk hanya dapat diketahui melalui naql atau nash.
Jika
manhaj-manhaj ini dihubungkan dengan akidah, maka peran akal dan naqlberkaitan
dengan masalah-masalah ketuhanan, jika dikaitkan dengan masalah fiqh, maka
peran akal dan naql berhubungan dengan perbuatan manusia
(mukallaf), dan jika dikaitkan dengan akhlaq atau tasawuf, maka akal dan naql berhubungan
dengan hubungan spiritual antara manusia dengan tuhannya.
Baik dalam
ruang lingkup akidah, fiqh dan tasawuf, Aswaja memiliki prinsip manhaj taqdîm
al-nash ‘alâ al-naql. Maka paham keagamaan Aswaja
dengan manhaj seperti itu selalu berorientasi mengedepankan nash daripada
akal. Berbeda dengan paham Mu’tazilah, meskipun sama-sama mengacu pada nash.
Aswaja tidak terlalu mendalam dalam menggunakan pendekatan akal, sehingga tidak
memberikan akses, bahwa nashdalam agama harus sejalan dengan makna
yang ditangkap oleh akal, tetapi akal hanyalah menjadi alat bantu untuk
memahami nash. Karena itu, penafsiran nash agama
tidak selalu harus sejalan dengan akal. Meskipun dengan pertimbangan yang
matang sekalipun, akal seringkali salah daya tangkapnya.
C. Pengertian Tabiin
Shahabat adalah : setiap orang yang berjumpa dengan Rasulullah Shallallahu
‘alayhi wasallam dalam keadaan ia beriman kepadanya dan ia meninggal
dalam keadaan Islam meskipun pernah diselingi murtad menurut pendapat yang
shahih.
Tabi’in adalah : orang yang berjumpa dengan shahabat Nabi Shallallahu
‘alayhi wasallam dalam keadaan ia beriman kepada Nabi Shallallahu
‘alayhi wasallam meskipun ia tidak melihat Beliau Shallallahu
‘alayhi wasallam dan ia mati di atas keislamannya.
Menurut Syekh Abu al-Fadl ibn Syekh ‘Abdus Syakur
al-Senori dalam kitab karyanya “Al- Kawakib al-Lamma’ah fi Tahqiqi
al-Musamma bi Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah” (kitab ini telah disahkan
oleh Muktamar NU ke XXlll di Solo Jawa Tengah) menyebutkan definisi Ahlussunnah
wal jama’ah sebagi kelompok atau golongan yang senantiasa komitmen mengikuti
sunnah Nabi saw dan thoriqoh para sahabatnya dalam hal akidah, amaliyah fisik
(fiqh) dan akhlaq batin (tasawwuf). Syekh ‘Abdul Qodir al-Jilani mendefinisikan
Ahlussunnah wal jama’ah sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan
as-Sunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliputi ucapan,
prilaku, serta ketetapan beliau). Sedangkan yang dimaksud dengan pengertian
jama’ah adalah segala sesuatu yang yang telah disepakati oleh para sahabat Nabi
SAW pada masa Khulafa’ ar-Rasyidin yang empat yang telah diberi hidayah Allah.”
D. Aswaja pada massa Tabiin
Secara
historis, para imam Aswaja dibidang akidah telah ada sejak zaman para sahabat
Nabi SAW sebelum munculnya paham Mu’tazilah. Imam Aswaja pada saat itu
diantaranya adalah ‘Ali bin Abi Thalib RA, karena jasanya menentang pendapat
Khawarij tentang al-Wa’du wa al-Wa’id dan pendapat Qodariyah
tentang kehendak Allah dan daya manusia. Dimasa tabi’in ada beberapa imam,
mereka bahkan menulis beberapa kitab untuk mejelaskan tentang paham Aswaja,
seperti ‘Umar bin ‘Abd al-Aziz dengan karyanya“Risalah Balighah fi Raddi
‘ala al-Qodariyah”. Para mujtahid fiqh juga turut menyumbang beberapa
karya teologi untuk menentang paham-paham diluar Aswaja, seperti Abu Hanifah
dengan kitabnya “Al-Fiqhu al-Akbar”, Imam Syafi’i dengan
kitabnya“Fi Tashihi al-Nubuwwah wa al-Raddi ‘ala al-Barohimah”.
Generasi
Imam dalam teologi Aswaja sesudah itu kemudian diwakili oleh Abu Hasan
al-Asy’ari (260 H – 324 H), lantaran keberhasilannya menjatuhkan paham
Mu’tazilah. Dengan demikian dapat dipahami bahwa akidah Aswaja secara
substantif telah ada sejak masa para sahabat Nabi SAW. Artinya paham Aswaja
tidak mutlak seperti yang dirumuskan oleh Imam al-Asy’ari, tetapi beliau adalah
salah satu diantara imam yang telah berhasil menyusun dan merumuskan ulang doktrin
paham akidah Aswaja secara sistematis sehingga menjadi pedoman akidah Aswaja.
Dalam
perkembangan sejarah selanjutnya, istilah Aswaja secara resmi menjadi bagian
dari disiplin ilmu keislaman. Dalam hal akidah pengertiannya adalah Asy’ariyah
atau Maturidiyah. Imam Ibnu Hajar al-Haytami berkata: Jika Ahlussunnah
wal jama’ah disebutkan, maka yang dimaksud adalah pengikut rumusan yang di
gagas oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Dalam
fiqh adalah madzhab empat, Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Dalam tasawuf
adalah Imam al-Ghozali, Abu Yazid al-Bisthomi, Imam al-Junaydi dan ulama-ulama
lain yang sepaham. Semuanya menjadi diskursus Islam paham Ahlussunnah wal
jama’ah
Secara
teks, ada beberapa dalil Hadits yang dapat dijadikan dalil tentang paham
Aswaja, sebagai paham yang menyelamatkan umat dari kesesatan, dan juga dapat
dijadikan pedoman secara substantif. Diantara teks-teks Hadits Aswaja adalah:
افْتَرَقَتْ الْيَهُودُ عَلَى إحْدَى وَسَبْعِينَ
فِرْقَةً وَافْتَرَقَتْ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَ
سَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً كُلُّهُمْ فِي
النَّارِ إلَّا وَاحِدَةً قَالُوا : مَنْ هم يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا
عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي. رَوَاهُ أَبُو دَاوُدوَالتِّرْمِذِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ
“Dari Abi
Hurayrah RA. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Terpecah umat Yahudi menjadi
71 golongan. Dan terpecah umat Nasrani menjadi 72 golongan. Dan akan terpecah
umatku menjadi 73 golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu. Berkata para
sahabat: “Siapakah mereka wahai Rasulullah?” Rasulullah SAW menjawab: “Mereka
adalah yang mengikuti aku dan para sahabatku.”. HR. Abu Dawud, Turmudzi, dan Ibnu
Majah.
Jadi
inti paham Ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja) seperti yang tertera dalam teks
Hadits adalah paham keagamaan yang sesuai dengan sunnah Nabi SAW dan petunjuk
para sahabatnya
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah di
uraikan pada makalah tersebut dapat disimpulkan bahwa: aswaja atau ahlussunnah
wal jamaah adalah suatu golongan yang menganut pada syariat islam
yang berdasarkan pada al qur`an dan al hadis dan menggunakan ijtihad sebagai
solusi yang terakhir, adapun ijtihad yang digunakan adalah ijtihad agama,
ijtihad hukum, ijtihad tassawuf, ijtihad hukum dan bernegara, sehingga banyak
kalangan umat islam yang mengatakan bahwa golongan aswaja adalah golongan yang banyak
melakukan subhat. Dilihat dari sinilah aswaja adalah sikapnya meluas dan
fleksibel yaitu dengan berdasarkan tekstual dan kontekstual.
B. Penutup
Demikian
makalah yang kami susun semoga apa yang kita rumuskan, kita pelajari
mendapatkan anugrah dan inayah dari allah serta bermanfaat bagi kita semua.
Dengan semangat belajar yang tinggi pula insyaallah dapat menegakkan tiang
agama dan mendapatkan tempat yang mulia kelak di hari akhir amin ya robbal
alamin.
DAFTAR PUSTAKA
Harits
Muhammad Abdul bin Ibrahim A-Salafy Al-jazary. Mengenal Kaedah Dasar
Ilmu Hadits (Penjelasan Mandhumah Al-Baiquniyah), Alih Bahasa: Abu
Hudzaifah. Maktabah Al-Ghuroba,Cet.Ke-1, September 2006.
0 Response to "makalah mahasiswa: Makalah Aswaja"
Posting Komentar