(Telaah Terhadap Empowerment Society
Menuju Civil Society )*
Pendahuluan
Sebagai organisasi, PMII tentunya
tidak berbeda dengan organisasi-organisasi lainnya, dimana untuk menjalankan
roda organisasi dan bagaimana organissi mengambil sikap atas fenomena dan
persoalan yang berkembang pada wilayah empiris. Maka diperlukan sebuah landasan, pedoman dan cara
pandang. Pedoman, landasan atau cara pandang itulah yang dinamakan dengan
paradigma. Paradigma menjadi sangat signifikan dalam sebuah organisasi karena
merupakan sebuah ruh dari sebuah pergerakan untuk mnentukan sikap atas persoalan
yang ada, baik persoalan internal organisasi maupun persoalan eksternal
organisasi.
Paradigma dalam PMII menjadi penting dikarenakan
paradigma merupakan cara dalam “mendekati” obyek kajian atau persoalan (The
subject matter of particular discipline). Orientasi atau pendekatan umum (general
orientations) ini didasarkan pada asumsi-asumsi yang dibangun dalam kaitan
dengan bagaimana “realita” dilihat untuk kemudian dianalisa. Dengan demikian
PMII tidak akan buta dengan melihat realitas-empiris disela-sela hiruk-pikuknya
persoalan yang ada, serta tidak bisu untuk melantangkan suara ketidak adilan
yang terjadi dimana-mana.
Sehingga sangat tegas bahwa PMII telah memilih Paradigma
Kritis sebagai dasar untuk bertindak (to act) dan
mengaplikasikan pemikiran pemikiran serta menyusun cara pandang dalam melakukan
sebuah analisa atas berbagai persoalan yang ada disekitar kita.
Mengapa Paradigma Kritis
Dalam
memilih paradigma kritis ini, tentunya mempunyai berbagai alasan yang
mendasarinya, antara lain :
Secara Internal, pertama; teori ini menerima
pandangan tentang perlunya kategori imperatif paham ilmu-ilmu sosial yang
sejalan dengan argumen yang mendukung interperatif. Dan model kritis menyetakan
bahwa untuk memilki pokok bahasan (subjet matter) seorang harus
mempunyai maksud dan keinginan para pelaku yang diamatinya dan juga aturan
serta makna konstitutif tatanan sosial mereka. Untuk melakukan ini semua maka
digunakan pola pikir kritis.
Kedua, Menghindari sebuah kegiatan yang mempunyai asumsi
kebetulan. Yaitu dengan cara membongkar sistem hubungan sosial yang menentukan
tindakan individu. Dalam bahasanya Paulo freire adalah kesadaran kritis
(critical consciusns). Model berfikir kritis merupakan model yang
menuntut bahwa para praktikusnya berusaha untuk menemukan kaidah kuasi-kausal
darn fungsional tentang tingkah laku
sosial dalam konstalasi kehidupan sosial sehari-hari.
Ketiga, Teori kritis
bagaian dari ilmu-ilmu soaial yang dapat digunakan untuk mengeksplor tentang
teori-teori ilmiah sekaligus dalam penyikapan terhadap realitas sosial yang
berkembang.
Model berfikir paradigma kritis ini menganggap hubungan
yang tersembunyi antara teori dan praktek sebagai salah satu titik tolaknya,
dan ini berarti bahwa model ini mempertalikan pendirian pengetahuannya dengan
pemuasan tujuan dan keinginan manusia.
Secara Eksternal, paradigma kritis sangat berfungsi bagi
PMII, pertama; masyarakat indonesia adalah masyarakat plural (majemuk)
yang terdiri dari suku,,agama, ras
(etnis) dan tradisi, kultur maupun kepercayaan. Pluralitas bangsa inilah yang
menyimpan kekayaan akan konflik yang luar biasa. Disi lain ternya pluralitas
terkadang dipahami sebagai pembatas (penghalang) ideoloi antara
komunitas satu dengan komunitas yang lain. Kondisi seperti inilah akan lebih
tepat digunakannya paradigma kritis, karena paradigma ini akan memberikan
tempat yang sama (toward open and equal society) bagi setiap individu maupun kelompok
masyarakat untuk mengembangkan potensi diri dan kreativitasnya secara maksimal
melalui dialog terbuka, transparan dan jujur. Dengan bahasa sederhananya “memanusiakan
manusia”.
Kedua, masyarakat Indonesia saat ini telah terbelenggu oleh
nilai-nilai kapitalisme modern yang dapat mengakibatkan ketergantungan bagi
masyarakat setiap adanya suatu perubahan (hanyalah meniru dan mengikuti) dengan
asumsi siapa yang tidak melakukannya maka dia akan ditinggalkan dan
dipinggirkannya oleh perkembangan jaman. Hal ini tanpa disadari telah mengekang dan
memandulkan kesadaran rakyat untuk
mengembangkan kreativitas dan pola pikir, dengan meminjam istilah Mark, bahwa
kapitalisme inilah yang mengakibatkan manusia terasing (alienated) dari
diri dan lingkungannya. Dalam kondisi inilah peradigma kritis menjadi
keniscayaan untuk diterapkan.
Ketiga, selama pemerintahan Orde Baru, pemerintahan dijalankan
dengan cara hegemonik-militeristik, yang mengakibatkan ruang publik masyarakat
–atau dalam bahasa Habermas, public sphere menjadi hilang. Dampak dari sistem ini adalah masyarakat
dihinggapi budaya bisu dalam berkreasi, berinovasi, maupun melakukan
pemberontakan. Lebih radikal lagi, seluruh potensi dan kekuatan pemberontakan
atau jiwa kritisisme yang dimiliki telah dipuberhanguskan dengan cara
apapun demi melenggangkan kekuasaan status quo negara. Melihat fenomena
seperti ini maka perlu untuk dilakuknnya sebuah pemberdayaan (empowerment)
bagi rakyatIndonesia sebagai artikulasi sikap kritik dan pemberontak terhadap
negara yang totaliter – hegemonik. Untuk melakukan upaya empowerment,
enforcemen (penguatan), sekaligus memperkuat civil society dihadapan
negara melalui paradigma kritis sebagai pola pikir dan cara pandang masyarakat
kita agar rakyat dan negara mmempunyai posisi setara (equal).
Keempat, menghancurkan paradigma keteraturan (order paradigm).
Karena penerapan paradigma keteraturan ini, pemerintah harus menjaga harmoni
dan keseimbangan sosial (sicial harmony), sehingga gejolak sekecil
apapun harus diredam agar tidak mengusik ketenangan semu mereka. Dengan
paradigma inilah masyarakat akan dijadikan robot yang hanya diperlakukan
sana-kemari tanpa memberikan kebebasan mereka untuk berfikir dan berkreasi
dalam mengapresiasikan kemauannya. Untuk melakukan pemberontakan atas belenggu
dan kejumudan berfikir semacam itu, maka diperlukan paradigma kritis.
Kelima, masih kuatnya belenggu dogmatisme agama dan tradisi.
Sehingga secara tidak sadar telah terjadi pemahaman yang distortif tentang
ajaran dan fungsi agama. Lebih parah lagi ketika terjadi dogmatisasi agama
sehingga kita tidak bisa membedakan lagi mana yang dianggap dogma dan mana yang
dianggao sebagai pemikiran. Akhirnya agama terkesa kering dan kaku, bahkan
tidak jarang agama menjadi penghalang bagi kemajuan dan upaya penegakan
nilai-nilai kemanusiaan. Sementara disisi lain agama hanya dijadikan komoditas
kendaran atau lokomotif bagi kepentingan politik (kekuasaan) oleh
kelompok tertentu. Dengan terma-terma agama, masyarakat menjadi terbius dan
tidak mampu untuk melakukan kritik. Dengan demikian sangatlah perlu untuk
mengembalikan fungsi dan ajaran agama. Upaya tersebut adalah dengan mengadakan
rekontruksi/dekontrusi (pembongkaran) pemahaman masyarakat melalui
paradigma kritis. Dan harus diakui pula
bahwa agama diposisikan sebagai poros moralitas dan mampu menjadi inspirator
dalam moral forcement dalam seluruh
kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari sinilah agama akan benar-benar kembali
kefitrohnya, yakni melahirkan dan menjaga perdamaian dimuka bumi.
Penerapan Paradigma Kritis
Diatas telah banyak dikupas tentang
mengapa digunakannya paradigma kritis dalam tubuh PMII sebagai eksplorasi
pemikiran menuju tindakan. Maka dalam penerapannya tetap akan melihat realitas yang terjadi dan
sepenuhnya merupakan proses dialektika pemikiran manusia. Sehingga jangan heran
ketika sahabat-sahabat PMII dikesankan oleh NU, sebagai komunitas yang tidak
tahu etika dan tata krama terhadap orang tua (yakni orang tua NU). Meski
secara struktur-organisatoris PMII tidak berada dibawah NU.
Dalam
hal ini paradigma kritis diberlakukan hanya sebagai kerangka pikir (manhaj
al-fikr) dalam analisis dalam memandang persoalan. Tentunya dia tidak
dilepaskan dari ketentuan ajaran dan nilai-nilai agama. Dan bahkan ingin
mengembalikan dan menfungsikan ajaran agama sebagaimana mestinya. Konteks
inilah paradigma kritis tidak berkutat pada wilayah hal-hal yang bersifat
sakral. namun lebih pada persoalan yang bersifat profan. Lewat paradigma kritis
persoalan-persoalan yang bersifat profan dan sakral akan diposisikan secara
propesional. Dengan kata lain paradigma PMII berusaha untuk menegakkan sikap
kritis dalam berkehidupan dengan menjadikan ajaran agama sebagai inspirasi dan
motifasi untuk melakukan kekhalifahan dimuka bumi (kholifah fi al-ardh).
Setidak-tidaknya
ada 3 (tiga) hal, yang harus dilakukan dalam mengaktualisasikan
pemikiran menuju sebuah tindakan, yakni ; Pertama, mengadakan
pembongkaran terhadap ideologi, dengan memberikan kebebasan dari semua rantai
penindasan dalam kehidupan ekonomi maupun keimanannya.
Pembongkaran-pembongkaran ini kiranya bisa dilakukan dengan berfikir secara kritis
terhadap dogma-dogma. Masyarakat tidak begitu saja menerima ajaran agama yang
disampaikannya, namun bagaimana masyarakat agama juga berhak melakukan
tafsiran-tafsiran atas segala nilai dan pranata agama yang selama ini mereka
anut.
Proses
kritisisme dan interpretasi atas ajaran agama bukan berarti memberikan peluang
untuk memberikan peluang untuk menghancurkan agama itu sendiri, namun justru
sebaliknya bagaimana agama ditempatkan pada posisi atas agar tidak digunakan
oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Proses kritik ini tidak saja dilakukan
terhadap dogmatisme agama, namun juga budaya, tatanan masyarakat, dan
pemikiran-pemikiran sosial yang ada. Dengan berfikir kritis, maka akan terjadi
dialektika dan dinamika dalam kehidupan.
Kedua,
menyingkirkan tabir hegemonik. Penyingkiran terhadap tabir hegemonik tidak
hanya bermuara pada penguasa saja, namun juga tidak menutup kemungkinan pada
kalangan NU sendiri atau yang lain. Untuk mengaplikasikan paradigma kritis ini
tentunya PMII harus benar-benar menyatakan sikap perjuangannya untuk terlibat (involve)
langsung dalam membangun bangsa dan negara dengan tetap memperjuangkan
kepentingan rakyat banyak.
Ketiga, Semangat
religius Islam. PMII dalam membangun semangat kebangsaan dan pluralisme yang
tetap berada dalam frame dan semangat religiusitas Islam dengan tidak
meninggalkan wilayah sakral beragama, namun juga dapat masuk dalam wilayah
profan agama. Sehingga dalam
perjalanannya tidak akan terbentur dengan kelompok konservatisme yang
didalamnya.
Penutup
Kiranya
paradigma kritis bisa digunakan sebagai pola pikir dan cara pandang (manhaj
al-fikr) yang mampu menerjemahkan
dan mentransformasikan dalam
kehidupan dan kemaslahatan umat agar tercipta kehidupan yang tasamuh (toleransi), ta’adal (keadilan),
tawazun (kesetaraan), dan dialogis (syuro) diantara sesama
manusia.
Semoga
bermanfaat
Mantap...
BalasHapusSalam Pergerakan...!