BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Jika kita teala’ah
lebih jauh lagi tentang sejarah manuasia, banyaknya lmbaran hitam yang
dimunculkan dari sejarah peradaban manusia yang tidak pernah sepi dari
penindasan, kezaliman kekerasan dan lain sebagainya yang telah menghiasi dunia kelam
pada saat itu. Semuanya dilakukan oleh manusia yang satu terhadap manusia yang
lainnya dengan faktor perbedaan kedudukan, ekonomi, harkat, agama, darah,
kelahiran, warna kulit dan kebangsaan.
Louis Henkin mengatakan
bahwa “ Hak-hak asasi manusia merupakan objek pemikiran kita di zaman
sekarang”. Inilah pandangan umum yang di anut oleh hampir semua pakar hak-hak
asasi manusia.
Aspek penting dalam
perkembangan hak-hak asasi manusia ialah bahwa kurun beberapa tahun pasca
perang terjadi perubahan mendasar dalam konsep hukum internasional. Hukum
internasional terdahulu memandang bahwa rakyat hanyalah sebagai urusan negara
saja atau dengan kata lain menurut Henkin bahwa negara menjadi subjek dan
rakyat hanyalah sebagai objek.
Doktrin-doktrin hak-hak
asasi manusia dalam islam merupakan perkembangan yang logis dari postulat dasar
islam, yakni kedaulatan yang dititahkan tuhan melalui wahyu yang diberikan
kepada Nabi Muhammad Saw. Doktrin inilah yang menjadi dasar prinsip-prinsip hak
asasi manusia yang sekarang tercantum dalam dokumen internasional ini pada
dasarnya merupakan bagian logis dari hukum islam. Perlu kita ketahui bahwa pada
dasarnya litelatur hukum islam sebenarnya sudah memadai untuk memahami dan
memformulasikan hak-hak asasi manusia itu tanpa bantuan dokumen-dokumen moderen
seperti deklarasi Perserikatan Bangsa-bangsa.
Deklarasi islam tentang
hak-hak asasi manusi secara implisit sudah lahir pada abad ke-7 M, yakni
berbarengna dengan diturunkannya al-Quran, namun untuk deklarasi secara
sistematis sekian abad lamanya para pakar islam mencoba memformulasikan posisi
islam dalam hubunganya dengan hak-hak asasi manusia. Untuk pertama kalinya
rumusan islam tentang hak-hak asasi manusia ini dideklarasikan pada tanggal 15
September 1981 di Paris yang diumumkan oleh Dewan Islam Eropa. Dalam
mukodimahnya ditegaskan bahwa deklarasi ini berdasarkan firman Tuhan (Wahyu
Allah). Oleh karena itu, hak-hak asasi manusia ini dijabarkan untuk menjaga dan menjungjung tinggi martabat
serta kehormatan manusia agar mengikis habis kezaliman dan penindasan yang ada.
Untuk lebih mempertegas lagi karena dokumen ini bersumber dari hukum allah.
maka ini tidak bisa dilanggar, diselewengkan, di abaikan bahkan ditambah atau
dikurani oleh perorangan, pemerintah maupun institusi lainnya.
sikap islam terhadap
hak-hak asasi manusia ini selalu selaras dengan tren moderen, yakni islam
mengakui individu sebagai objek bukan sebagai subjek yang dikemukakan oleh
hakim Nagendra Singh dalam risalahnya tentang
Hukum Internasional di India pada abad pertengahan. [1]
Menurut hukum dan konsep hak-hak asasi manusia persfektif islam, manusia
memiliki martabat yang tinggi. Al-Quran berulang kali melarang adanya
penganiayaan, penindasan, agresi dan merendahkan martabat manusia dan selalu
menyuruh untuk menegakan keadilan dalam segala bidang kehidupan.
Jadi, dalam pandangan
islam tidak ada manusia yang rendah. Martabat manusia itu bersifat azli, abdi
dan tanpa diskriminasi. Karena itu, kemerdekaan dan kebebasan manusia bukanlah
bersifat semntara yang bergantung kepada pengusa (pemerintah), akantetapi
bersifat selamanya. Karena dalam hukum islam tidak menganal diskriminasi, maka
keadilan dan keazalian martabat manusia bukan ditentukan oleh agama yang
dianutnya, semua orang memiliki hak dan kedudukan yang sama dimuka hukum
(allmen are equal before the law). Setiap orang berkewajiban saling menghormati
dan menjungjung tingggi martabat mulia itu.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan HAM?
2. Aspek-aspek Standar Universalitas HAM?
3. Apa Yang dimaksud HAM Perspektif Hukum Islam?
C.
Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui Apa yang dimaksud dengan HAM?
2. Untuk mengetahui Aspek-aspek Standar Universalitas
HAM?
3. Untuk mengetahui Apa Yang dimaksud HAM Perspektif
Hukum Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Hak-hak Asasi Manusia
Secara etimologi hak merupakan unsur normative yang
berfungsi sebagai pedoman prilaku melindumgi kebebasan, kekebalan serta
menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjadi harkat dan martabatnya. Sedangkan
asasi berarti yang bersifat paling
mendasar yang dimiliki manusia sebagai fitrah, sehingga tak satupun
makhluk mengintervensinya apalagi
mencabutnya.
Menurut John Locke HAM
adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai
hak yang kodrati. Sedangkan menurut Menurut pendapat Jan Materson (dari komisi
HAM PBB), dalam Teaching Human Rights, United Nations sebagaimana dikutip
Baharuddin Lopa menegaskan bahwa HAM adalah hak-hak yang melekat pada setiap
manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia
Jadi dapat disimpulkan
bahwa Hak Asasi manusia (human rights) adalah hak-hak kemanusiaan paling
fundamental yang harus dimiliki oleh setiap individu. Tanpa adanya hak ini maka
berkuranglah harkat serta martabatnya sebagai manusia yang wajar. Hak asasi
manusia adalah suatu tuntunan yang secara moral dapat dipertanggung jawabkan.
Hak-hak tersebut merupakan suatu kebutuhan mendasar yang harus dimiliki oleh
setiap individu maupun kelompok tanpa membedakan suku, bangsa, agama, jenis
kelamin dan sebagainya.semua itu termasuk dalam makna integral (Universalitas
HAM)[2].
Yang menjadi persoalan
utama dalam universalitas HAM ini adalah bagaimana setiap individu ataupun
kelompok mendapat hak yang sama, perlakuan yang sama dan kebebasan yang sama
secara profesional. Hal paling utama yang melatarbelakangi persebatan terkait
universalitas HAM menyangkut pengerian dan ruang lingkup HAM itu sendiri.
Dikaji dari sudut
pandang filosofis, HAM dapat diartikan sebagai hak-hak kemanusiaan yang paling
fundamental yang harus dimiliki oleh setiap individu maupun kelompok tanpa
membeda-bedakan apapun. Kemudian dari sudut pandang normatif atau yuridis, HAM
dapat diartikan sebagai kummpulan hukum yang mengatur tenang hak setiap
individu dalam bermasyarakat. Sedangkan kalau kita kaji sari sudut pandang
sosiologis, HAM diartikan sebagai nilai-nilai dasar kemanusiaan yang yang
berlaku universal dan berlaku sistem sosial dan budaya masyarakat sehari-hari.
Pada dasarnya dari
ketiga sudut pandang tersebut ada kesamaan yaitu sama-sama mengatur kehidupan
baik individu ataupun masyarakat dalam melakukan proses kehidupan. Akan tetapi
pengertian dasar HAM tidak dapat dibatasi oleh sudut pandang filosifis, yuridis
ataupun sosiologis saja, sebab upaya mencari pengertian secara utuh terletak
bagaimana kita mau menempatkan HAM tersebut.
Untuk mengetahui secara
mendalam, tentunya kita harus lebih mengedepankan prinsip persamaan, kebebasan,
dan keadilan antar semua piihak yang berbeda pendapat. Pendektan ini adalah
pendekatan konsensus, karena pendekatan konsendus ini merupakan pendekatan
paling tepat untuk menjembatani perdebatana dalam menjembatani perbedaan
tentang asal-usul HAM.
Berkenaan dengan hal
tersebut, maka terdapat tiga hal yang melatar belakangi lahirnya HAM. Pertama, secara Filosofis, seperti yang
dijelaskan oleh kalangan Aristotelian bahwa manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon) yang saling membutuhkan
antara satu sama lainnya. Baik secara struktural maupun secara funngsional,
keberadaan setiap individu dalam masyarakat sering kali diwujudkan dalam
perilaku dan tindakan.
Kedua,
Secara Historis, terbentuknya HAM
menjadi sebuah konsensus internasional merupakan implikasi dari krisis
kemanusiaan yang teradi selama perang dunia II. Perang seringkali hanya
melahirkan penderitaan bagi banyak pihak, khususnya bagi pelaku yang terlibat
didalamnya. Sebut saja, pembantaian bangsa yahudi oleh NAZI selama perang dunia
II dan pembersiahan etnis Muslim Bosnia-Herzegovina pada kurun waktu 1990-an,
telah melahirkan krisi kaemanusiaan yang tiada terhingga.
Ketiga, Secara normatif-yuridis, keberadaan Universal
Declaration of Human Rights (UDHR) sebagai setandar internasional bagi upaya
perlindungan HAM diseluruh dunia, tentu tidak akan efektif jika tidak diadopsi
menjadi norma dasar dalam hukum, undang-undang dan konstitusi suatu negara.
Kendatipun dalam sisi ini terdapat klasual-klasual yang multiinterpetabele
prihal aspek standar-standar universallitas HAM, tetapi banyak pihak yang
sepakat bahwa HAM harus ditransformasikan menjadi suatu bentuk hukum atau
undang-undang dan dimuat dalam konstitusi negara. [3]
2. Aspek-aspek
Standar Universalitas HAM?
Mengetahui aspek-aspek
universalitas HAM sangat penting untuk memahami aspek-aspek yang paling
mendasar dan krusial dalam diskursus tentang HAM. Selain itu, aspek-aspek
universalitas HAM sangat penting untuk membentuk pemahaman tentang dan
kesadaran kolektif terhadap HAM serta standar umum bagi implementasinya dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Aspek-aspek
universalitas HAM mengundang banyak perdebatan terutama menyankut standar baku
atau patokan dasar bagi penerapannya. Aspek ini dianggap memicu terjadinya
silang pendapat dikalangan para ahli hukum, tentang bagaimana suatu negara.
Perdebatan tersebut berkisar pada dikotomi, norma dan kompatibilitas HAM.
a. Dikotomi Universalitas HAM
Dalam pandangan Debi K.
Yusuf, saat ini standar normatif bagi
yang di pakai dalam penerapan HAM diberbagai negara didunia adalah Universal Declaration Of Human (UDHR)
yang telah ditetapkan melalui piagam PBB pada 10 November 1948. Namun demikian,
penafsiran atas pasal-pasal yang dimuat dalam UDHR tersebut ternyata berimplikasi
teradap corak penerimaan dan penerapan yang berbeda-beda. Hal ini terjadi
karena perbedaan polotik, hukum, dan keadaan ekonomi.
Misalnya saja, didalam
suatu negara yang mayoritasnya umat muslim pasti berbeda dalam hal menerima dan
menerapkan prinsip-prinsip HAM tersebut
yang universal. Norma agama dalam konteks masyarakat muslim tampak beda
pemahaman, pola fikir dan pengamalanya. Disisi lain mereka menganggap
aspek-aspek hukum syariat islma (hukum islam) berbeda dengan prinsip-prinsip
HAM yang universal. Tetapi pada sisi lainnya ada yang berpendapat bahwa antara
syariat islam dengan prinsip-prinsip HAM yang universal sama sekali tidak
bertentangan. Karena sesuai dengan keyakinan mereka karena mereka mempunyai hak
yang sama dalam melaksanakan hukum yang sesuai dengan keyakinannya.
Sedangkan bagi
masyarakat yang notabne menjadi penggagas lahirnya UDHR, umumnya mereka
menerima HAM dalam tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hal ini
sesuai dengan yang mereka yakini bahwa HAM merupakan bagian dari trasisi
sosial, bufaya, politik dan hukum yang mereka patuhi. Perlindungan HAM dalam
masyarakat barat merupakan suatu yang mutlak karena sejalan dengan
prinsip-prinsip kebebasan dan demokrasi.
Dikotomi seputar
Universalitas HAM tidak bisa disandarkan pada satu pihak saja, tatapi harus
adanya sebuah peluang diskusi dan kompromi sehingga ditemukan solusinya.
Perdebatan seputar aspek-aspek Universalitas HAM secara umum mencakup asat hak-hak
sipil dan politik, ekonomi, sosial dan budaya serta persamaan didepan hukum.
Oleh karena itu, salah
satu cara paling efektif untuk mengimplementasikan HAM dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara adalah pendekatan relativitas budaya (Cultural Relativisim). Prinsip ini lebih mengedepankan bagaimana
cara mengimplementasikan nilai-nilai Universalitas HAM dalam konteks hubungan
sosial, budaya, politik dan hukum yang berbeda-beda. Dalam diskursus HAM cara
semacam ini dikenal dengan pendekatan pertukaran budaya (cross cultural).
b. Kompatibilitas HAM
Kompatibilitas HAM
ialah tingkat kesesesuaian nilai-nilai universalitas HAM dengan keragaman
sosial, politik, hukum dan ekonomi. Kompabilitas HAM diajukan untuk mencari
kerangka teoritis dan praktis serta mempertemukan pola hubungan universalitas
HAM dengan aspek-aspek tersebut.
1. Hak Asasi Manusia dan Agama
Inti dari semua agama
adalah keadilan. Oleh karena itu, keadilan hendaknya diwujudkan bagi
terciptanya perdamaian dunia. Bebrapa abad yang lalu, pengalaman sejarah
manusia tidak pernah lepas dari konflik kemanuasiaan yang sebagiannya
disebabkan oleh perbedaan agama. jika pada abad pertegahan terjadi krisis
kemanusiaan karena politik dan agama antara timur (islam) dan barat (kristen),
dan kini konflik tersebut telah jauh bergeser menjadi perang peradaban (class of civilization).
2. Hak Asasi Manusia dan Masyarakat
Universalitas HAM tidak
hanya hubunganya dengan ajaran agama, tetapi juga dengan masyarakat (society). Masyarakat merupakan hierarki sosial
pada tingkat menengah. Setiap masyarakat memiliki karakter dan perilaku sosial
yang berbeda. Perbedaa tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan agama, budaya,
lingkungan, letak geografis dan pemerintahannya. Nilai-nilai, norma-norma dan
kaidah-kaidah sosial yang menyatu dalam kehidupan masyarakat disebut adat atau
kebiasaan (custom).
3. Hak Asasi Manusia dan Masyarakat
Bebrapa pemikir modern
berasumsi bahwa HAM memiliki tendensi yang lebih dekat kepada politik dari pada
hukum. Asumsi tersebut muncul karena beberapa sebab. Pertama, secara historis HAM dibentuk melalui peristiwa politik
dalam forum internasional. Kedua, ada
sebagian pihak berpendapat bahwa HAM merupakan persoalan krusial yang diangkat
dalam forum-forum internasional. Ketiga, penerimaan
terhadap HAM dan implementasinya seringkali tumpang tindih dengan urusan
politik.
4. Hak Asasi Manusia dan Konstitusi
Keterkaitan antara HAM
dan konstusi tampak jelas dalam kenyataan, dimana HAM seringkali diasumsikan
sebagai bagian diskusi tentang hukum internasional dan hukum tata negara.
Berdasarkan hal tersebut, maka antara HAM dan konstitusi tidak dapat dipisahkan
satu sama lain, karena mencaku kepantingan politik hukum seluruh masyarakat.
5. Hak Asasi Manusia dan Ekonomi
Setiap bangsa
menghendaki terwujudnya suatu masyarakat yang adil dan makmur. Adil dalam
tegaknya pengertan tegaknya supermasi hukum dimasyarakat tanpa ada perbedaan kelas
social atau sejenisnya. Titik tolak hubungan antara HAM dan ekonomi terletak
pada hak-hak individu dan masyarakat untuk hidup sejahtera, tidak ada
diskriminasi dan tidak ada klas sosial ekonomi. Dalam hal itu, terdapat tiga
aliran besar ekonomi yakni kafitalisme, sosialisme dan islam yang telah
membangun fomdamen ekonomi dalam tatanan masyarakat ekonomi dunia. Setiap
masyarakat dan negara memiliki hak dan kwajiban ssuai yang mereka kehendaki,
akantetapi hal tersebut harus merupakan kewjiban dan hak bagi masyarakt dan
negara lainnya. Yang pada gilirannya, tidak ada pendekatan yangfaling efektif
selain konsensus melalui pendekatan relativitas budaya (cultural relativism).
3. Hak Asasi
Manusia Persfektif Islam
Hak asasi manusia (HAM) adalah hak yang
melekat secara eksistensial dalam identitas kemanusiaan. Tanpa HAM, identitas
kemanusiaan itu menjadi tidak berarti atau malah dianggap tidak ada sama
sekali. Di mana dan kapanpun, manusia menyandang hak-hak asasinya itu sejak
lahir.
Dilihat dari sejarahnya, umumnya para
pakar di Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM dimulai dengan lahirnya Magna
Charta pada tahun 1215 di Inggris yang mencanangkan bahwa raja yang tadinya
memiliki kekuasaan absolut, menjadi dibatasi kekuasannya dan mulai dapat
dimintai pertanggung jawabannya di muka hukum. Selanjutnya diikuti dengan
lahirnya Bill of Right di Inggris tahun 1689 dengan adigium bahwa manusia sama
di muka hukum. Perkembangan HAM selanjutnya ditandai munculnya The American Declaration
of Independence, The French Declaration tahun 1789 dan terakhir lahirnya
rumusan HAM yang bersifat universal yang dikenal dengan The Universal
Declaration Of Human Rights tahun 1948 disahkan langsung oleh PBB.
Pemikiran barat yang berkembang selama
ini sangat mementingkan individu. Akibatnya, pola pikir manusia lebih
difokuskan pada hak-hak asasi daripada kewajiban-kewajibannya. Para ahli pikir
barat tampaknya sangat dipengaruhi oleh pandangan individualisme, sehingga
hak-hak asasi manusia dianggap lebih utama dari kewajiban-kewajibannya. Akibat
dari pandangan ini manusia lebih banyak menuntut hak-haknya daripada memenuhi
kewajibannya.
Dalam konsep Islam seseorang hanya
mempunyai kewajiban-kewajiban atau tugas-tugas kepada Allah, karena ia harus mematuhi
hukum-Nya. Namun secara paradoks, di dalam tugas-tugas inilah terletak semua
hak dan kemerdekaannya. Manusia diciptakan oleh Allah hanya untuk mengabdi
kepada Allah sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an surat Al-Zariyat ayat
56,artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku”.
Dari ketentuan ayat di atas, menunjukan
manusia mempunyai kewajiban mengikuti ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh
Allah. Kewajiban yang diperintahkan kepada umat manusia dibagi dalam 2
kategori, yaitu:
·
Huququllah (hak-hak Allah) yaitu kewajiban-kewajiban manusia
terhadap Allah yang diwujudkan dalam sebuah ritual ibadah
·
Huququl’ibad (hak-hak manusia) merupakan kewajiban-kewaajiban
manusia terhadap sesamanya dan terhadap makhluk-mahkluk Allah lainnya.
Hak Asasi Manusia dijamin oleh agama
Islam bagi manusia dikalsifikasikan kedalam dua kategori yaitu :
·
HAM dasar yang
telah diletakkan oleh Islam bagi seseorang sebagai manusia;
·
HAM yang
dianugerahkan oleh Islam bagi kelompok masyarakat yang berbeda dalam situasi
tertentu. Status, posisi, dan lain-lain yang mereka miliki. Hak-hak khusus bagi
non muslim, kaum wanita, buruh/pekerja, anak-anak, dan lainnya seperti hak
hidup, hak-hak milik, perlindungan kehormatan, keamanan, kesucian kehidupan
pribadi dan sebagainya.
Islam lebih mengedepankan kewajiban
daripada hak. Setelah kewajiban dikerjakan terlebih dahulu, barulah boleh
menuntut haknya, karena hak lahir dari kewajiban yang dikerjakan. Seseorang
berhak menuntut hak-haknya setelah kewajiban-kewajibannya ditunaikan.
Dengan adanya kewajiban manusia, berarti
manusia tidak bebas dalam menjalani kehidupannya di dunia. Secara garis besar,
kewajiban manusia itu adalah:
1. Kewajiban terhadap Allah.
2. Kewajiban terhadap diri sendiri.
3. Kewajiban terhadap keluarga.
4. Kewajiban terhadap tetangga.
5. Kewajiban terhadap buruh.
6. Kewajiban terhadap harta.
7. Kewajiban terhadap negara.
8. Kewajiban terhadap lingkungan hidup.
Kewajiban-kewajiban tersebut tidak hanya
menimbulkan hak bagi individu melainkan juga akan memperoleh pahala kelak di
akhirat. Pahala itu merupakan hak yang diperolehnya dari kewajiban yang
ditunaikannya. Berikut ini merupakan delapan hak yang dimiliki manusia sebagai
pemberian dari Allah SWT:
1) Hak untuk hidup
2) Hak memperoleh keselamatan dalam
hidup
3) Penghormatan terhadap kesucian wanita
4) Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup
5) Hak memperoleh kebebasan
6) Hak memperoleh keadilan
7) Kesamaan derajat manusia
8) Hak untuk bekerja sama atau tidak
bekerja sama
Manusia pada dasarnya berasal dari satu
ayah dan satu ibu, yang kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia, membentuk
aneka ragam suku dan bangsa serta bahasa dan warna kulit yang berbeda-beda.
Karena itu manusia menurut pandangan Islam adalah umat yang satu “ummatun
wahidatun”.
Karena manusia itu bersaudara yang
saling mengasihi dan sama derajatnya, manusia tidak boleh diperbudak oleh
manusia lain. Manusia bebas dalam kemauan dan perbuatan, bebas dari tekanan dan
paksaan orang lain. Manusia, menurut islam, hanya milik Allah dan hamba Allah
(‘Abd Allah) dan tidak boleh menjadi hamba dari makhluk-Nya, termasuk hamba
dari manusia.
Dari ajaran dasar persaudaraan,
persamaan dan kebebasan ini pula timbul manusia yang lainnya. Seperti kebebasan
dari kekurangan, rasa takut, meyalurkan pendapat, bergerak, kebebasan dari
penganiayaan dan penyiksaan. Hal ini mencakup semua sisi dari apa yang disebut
hak-hak asasi manusia seperti hak hidup, hak memiliki harta, hak berfikir, hak
berbicara dan mengeluarkan pendapat, mendapat pekerjaan, hak memperoleh
pendidikan, hak memperoleh keadilan, hak berkeluarga dan hak diperlakukan
sebagai manusia yang terhormat (mulia) dan sebagainya.
A. HAM sebagai tuntutan fitrah manusia
Manusia adalah puncak ciptaan tuhan. Ia
dikirim kebumi untuk menjadi khalifah atau wakil-Nya. Oleh karena itu setiap
perbuatan yang membawa perbaikan manusia oleh sesama manusia sendiri mempunyai
nilai kebaikan dan keluhuran kosmis, menjangkau batas-batas jagad raya,
menyimpan kebenaran dan kebaikan universal, suatu nilai yang berdimensi
kesemestaan seluruh alam.
Berdasarkan pandangan ini, maka manusia
memikul beban serta tanggung jawab sebagai individu dihadapan Tuhan-Nya kelak,
tanpa kemungkinan untuk mendelegasikannya kepada pribadi lain. Punya
pertanggung jawaban yang dituntut dari seseorang haruslah didahului oleh
kebebasan memilih. Tanpa adanya kebebasan itu lantas dituntut dari padanya
pertanggung jawaban, adalah suatu kezaliman dan ketidakadilan, yang jelas hal
itu bertentangan sekali dengan sifat Allah yang maha adil.
Berkaitan dengan penggunaan hak-hak
individu itu, yang mempunyai hak dianggap menyalahgunakan haknya apabila:
1. Dengan perbuatannya dapat merugikan orang lain.
2. Perbuatan itu tidak menghasilkan manfaat bagi
dirinya, sebaliknya menimbulkan kerugian baginya.
3. Perbuatan itu menimbulkan bencana umum bagi
masyarakat.
a. Perimbangan antara hak-hak individu dan masyarakat
Untuk menjaga keseimbangan antara
hak-hak individu masyarakat,didalam islam tidak dikenal adanya kepemilikan
mutlak pada manusia. Oleh karena itu,didalam syariat islam apabila disebut hak
Allah,maka yang dimaksud adalah hak masyarakat atau hak umum. Allah adalah
pemilik yang sesungguhnya terhadap alam semesta,termasuk apa yang dimiliki oleh
manusia itu sendiri. Hal ini ditegaskan oleh firman-nya antara lain:
1.
“Ketahuilah bahwa milik Allahlah apa-apa yang ada
dilangit dan dibumi” (Q.S Yunus/10:55)
2.
“Dan Dialah yang menciptakan bagimu semua yang
terdapat dibumi” (Q.S Al-Baqarah/2:29)
3.
“Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta
Allah yang telah dikaruniakan-Nya kepadamu” (Q.S An-Nuur/24:33)
4.
“……..di dalam harta mereka tersedia bagian tertentu
bagi orang miskin yang meminta dan tak punya” (Q.S Al-Ma’arij/70:24:25).
B. Dasar-dasar Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Al-Qur’an
1. Hak berekspresi dan mengeluarkan pendapat
Al-Qur’an
menegaskan:
“Dan hendaklah
ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh
kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Dan merekalah orang-orang
yang beruntung” (Q.S Ali-Imran/3:104)
“Hendaklah kamu
saling berpesan kepada kebenaran dan saling berpesan dengan penuh kesabaran”
(Q.S Al-Ashr/103:3)
“Berilah berita gembira kepada hamba-Ku yang
mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka
itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah
orang-orang yang mempunyai akal” (Q.S Az-Zumar/39:17:18)
Ayat-ayat
diatas menegaskan bahwa setiap orang berhak menyampaikan pendapatnya kepada
orang lain, mengingatkan kepada kebenaran, kebajikan serta mencegah
kemungkaran. Bahkan hal itu disampaikan bukan saja karena ada hak tapi
sekaligus merupakan suatu kewajiban sebagai orang beriman.
2. Hak kebebasan memilih agama
Sehubungan dengan kebebasan memilih
agama dan kepercayaan, Al-Qur’an menyebutkan antara lain:
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama
(islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah.
Karena itu barang siapa yang Ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah,
maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang
tidak akan putus dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Q.S
Al-Baqarah/2:256)
“Dan katakanlah, kebenaran itu datangnya dari
Tuhanmu, maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan
barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir…” (Q.S Al-kahfi/18:29)
“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki tentulah
beriman semua orang yang dimuka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak)
memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?“
(Q.S. Yunus/10:99)
Berdasarkan ayat-ayat diatas, jelaslah
bahwa masalah menganut suatu agama atau kepercayaan sepenuhnya diserahkan
kepada manusia itu sendiri untuk memilihnya. Didalam islam, kita hanya
diperintah untuk berdakwah yang bertujuan menyeru, mengajak dan membimbing seseorang
kepada kebenaran itu. Dakwah bertujuan juga untuk menegakkan “Al-Amru bil
ma’ruf wa al-nahyu ‘an al-munkar” (menyeru kepada kebajikan serta mencegah dari
kemjungkaran ).
3. Hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh
kesejahteraan sosial
Sehubungan dengan hak untuk memperoleh
kesempatan yang sama ini Al-Qur’an menyebutkan sebagai berikut :
“ Dialah orang
yang menjadikan segala yang ada dibumi ini untuk kamu…..” (Q.S Al-Baqarah/2:29)
Ayat ini menjadi dasar setiap orang
mempunyai kesempatan yang sama untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dari apa-apa
yang sudah disiapkan Allah dipermukaan bumi ini. Islam mengajarkan kepada
umatnya untuk mendapatkan Rezki yang halal dan baik hal ini di tegaskan dalam
firman-Nya :
“ Hai sekalian
Manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat dibumi…..” (Q.S
Al-Baqarah/2:168)
BAB
III
PENUTUP
SIMPULAN
Dari
pembahasan mengenai Hak Asasi Manusia di atas dapatlah kita tarik kesimpulan
bahwa Islam itu adalah agama yang asy-syumul (lengkap). Ajaran Islam meliputi
seluruh aspek dan sisi kehidupan manusia. Islam memberikan pengaturan dan
tuntunan pada manusia, mulai dari urusan yang paling kecil hingga urusan
manusia yang berskala besar.Dan tentu saja telah tercakup di dalamnya aturan
dan penghargaan yang tinggi terhadap HAM. Memang tidak dalam suatu dokumen yang
terstruktur, tetapi tersebar dalam ayat suci Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw.
Hak
Asasi Manusia telah di atur dalam Al-Qur’an dan Hadist dan umat islam harus
benar-benar mengetahui hak-hak yang diberikan kepadanya dan menggunakan haknya
tersebut sebaik-baiknya selama tidak bertentangan dan melanggar hak orang lain.
0 Response to "HAK ASASI MANUSIA PERSFEKTIF ISLAM"
Posting Komentar