Home » Archive for Agustus 2015
PARADIGMA PMII
(Telaah Terhadap Empowerment Society
Menuju Civil Society )*
Pendahuluan
Sebagai organisasi, PMII tentunya
tidak berbeda dengan organisasi-organisasi lainnya, dimana untuk menjalankan
roda organisasi dan bagaimana organissi mengambil sikap atas fenomena dan
persoalan yang berkembang pada wilayah empiris. Maka diperlukan sebuah landasan, pedoman dan cara
pandang. Pedoman, landasan atau cara pandang itulah yang dinamakan dengan
paradigma. Paradigma menjadi sangat signifikan dalam sebuah organisasi karena
merupakan sebuah ruh dari sebuah pergerakan untuk mnentukan sikap atas persoalan
yang ada, baik persoalan internal organisasi maupun persoalan eksternal
organisasi.
Paradigma dalam PMII menjadi penting dikarenakan
paradigma merupakan cara dalam “mendekati” obyek kajian atau persoalan (The
subject matter of particular discipline). Orientasi atau pendekatan umum (general
orientations) ini didasarkan pada asumsi-asumsi yang dibangun dalam kaitan
dengan bagaimana “realita” dilihat untuk kemudian dianalisa. Dengan demikian
PMII tidak akan buta dengan melihat realitas-empiris disela-sela hiruk-pikuknya
persoalan yang ada, serta tidak bisu untuk melantangkan suara ketidak adilan
yang terjadi dimana-mana.
Sehingga sangat tegas bahwa PMII telah memilih Paradigma
Kritis sebagai dasar untuk bertindak (to act) dan
mengaplikasikan pemikiran pemikiran serta menyusun cara pandang dalam melakukan
sebuah analisa atas berbagai persoalan yang ada disekitar kita.
Mengapa Paradigma Kritis
Dalam
memilih paradigma kritis ini, tentunya mempunyai berbagai alasan yang
mendasarinya, antara lain :
Secara Internal, pertama; teori ini menerima
pandangan tentang perlunya kategori imperatif paham ilmu-ilmu sosial yang
sejalan dengan argumen yang mendukung interperatif. Dan model kritis menyetakan
bahwa untuk memilki pokok bahasan (subjet matter) seorang harus
mempunyai maksud dan keinginan para pelaku yang diamatinya dan juga aturan
serta makna konstitutif tatanan sosial mereka. Untuk melakukan ini semua maka
digunakan pola pikir kritis.
Kedua, Menghindari sebuah kegiatan yang mempunyai asumsi
kebetulan. Yaitu dengan cara membongkar sistem hubungan sosial yang menentukan
tindakan individu. Dalam bahasanya Paulo freire adalah kesadaran kritis
(critical consciusns). Model berfikir kritis merupakan model yang
menuntut bahwa para praktikusnya berusaha untuk menemukan kaidah kuasi-kausal
darn fungsional tentang tingkah laku
sosial dalam konstalasi kehidupan sosial sehari-hari.
Ketiga, Teori kritis
bagaian dari ilmu-ilmu soaial yang dapat digunakan untuk mengeksplor tentang
teori-teori ilmiah sekaligus dalam penyikapan terhadap realitas sosial yang
berkembang.
Model berfikir paradigma kritis ini menganggap hubungan
yang tersembunyi antara teori dan praktek sebagai salah satu titik tolaknya,
dan ini berarti bahwa model ini mempertalikan pendirian pengetahuannya dengan
pemuasan tujuan dan keinginan manusia.
Secara Eksternal, paradigma kritis sangat berfungsi bagi
PMII, pertama; masyarakat indonesia adalah masyarakat plural (majemuk)
yang terdiri dari suku,,agama, ras
(etnis) dan tradisi, kultur maupun kepercayaan. Pluralitas bangsa inilah yang
menyimpan kekayaan akan konflik yang luar biasa. Disi lain ternya pluralitas
terkadang dipahami sebagai pembatas (penghalang) ideoloi antara
komunitas satu dengan komunitas yang lain. Kondisi seperti inilah akan lebih
tepat digunakannya paradigma kritis, karena paradigma ini akan memberikan
tempat yang sama (toward open and equal society) bagi setiap individu maupun kelompok
masyarakat untuk mengembangkan potensi diri dan kreativitasnya secara maksimal
melalui dialog terbuka, transparan dan jujur. Dengan bahasa sederhananya “memanusiakan
manusia”.
Kedua, masyarakat Indonesia saat ini telah terbelenggu oleh
nilai-nilai kapitalisme modern yang dapat mengakibatkan ketergantungan bagi
masyarakat setiap adanya suatu perubahan (hanyalah meniru dan mengikuti) dengan
asumsi siapa yang tidak melakukannya maka dia akan ditinggalkan dan
dipinggirkannya oleh perkembangan jaman. Hal ini tanpa disadari telah mengekang dan
memandulkan kesadaran rakyat untuk
mengembangkan kreativitas dan pola pikir, dengan meminjam istilah Mark, bahwa
kapitalisme inilah yang mengakibatkan manusia terasing (alienated) dari
diri dan lingkungannya. Dalam kondisi inilah peradigma kritis menjadi
keniscayaan untuk diterapkan.
Ketiga, selama pemerintahan Orde Baru, pemerintahan dijalankan
dengan cara hegemonik-militeristik, yang mengakibatkan ruang publik masyarakat
–atau dalam bahasa Habermas, public sphere menjadi hilang. Dampak dari sistem ini adalah masyarakat
dihinggapi budaya bisu dalam berkreasi, berinovasi, maupun melakukan
pemberontakan. Lebih radikal lagi, seluruh potensi dan kekuatan pemberontakan
atau jiwa kritisisme yang dimiliki telah dipuberhanguskan dengan cara
apapun demi melenggangkan kekuasaan status quo negara. Melihat fenomena
seperti ini maka perlu untuk dilakuknnya sebuah pemberdayaan (empowerment)
bagi rakyatIndonesia sebagai artikulasi sikap kritik dan pemberontak terhadap
negara yang totaliter – hegemonik. Untuk melakukan upaya empowerment,
enforcemen (penguatan), sekaligus memperkuat civil society dihadapan
negara melalui paradigma kritis sebagai pola pikir dan cara pandang masyarakat
kita agar rakyat dan negara mmempunyai posisi setara (equal).
Keempat, menghancurkan paradigma keteraturan (order paradigm).
Karena penerapan paradigma keteraturan ini, pemerintah harus menjaga harmoni
dan keseimbangan sosial (sicial harmony), sehingga gejolak sekecil
apapun harus diredam agar tidak mengusik ketenangan semu mereka. Dengan
paradigma inilah masyarakat akan dijadikan robot yang hanya diperlakukan
sana-kemari tanpa memberikan kebebasan mereka untuk berfikir dan berkreasi
dalam mengapresiasikan kemauannya. Untuk melakukan pemberontakan atas belenggu
dan kejumudan berfikir semacam itu, maka diperlukan paradigma kritis.
Kelima, masih kuatnya belenggu dogmatisme agama dan tradisi.
Sehingga secara tidak sadar telah terjadi pemahaman yang distortif tentang
ajaran dan fungsi agama. Lebih parah lagi ketika terjadi dogmatisasi agama
sehingga kita tidak bisa membedakan lagi mana yang dianggap dogma dan mana yang
dianggao sebagai pemikiran. Akhirnya agama terkesa kering dan kaku, bahkan
tidak jarang agama menjadi penghalang bagi kemajuan dan upaya penegakan
nilai-nilai kemanusiaan. Sementara disisi lain agama hanya dijadikan komoditas
kendaran atau lokomotif bagi kepentingan politik (kekuasaan) oleh
kelompok tertentu. Dengan terma-terma agama, masyarakat menjadi terbius dan
tidak mampu untuk melakukan kritik. Dengan demikian sangatlah perlu untuk
mengembalikan fungsi dan ajaran agama. Upaya tersebut adalah dengan mengadakan
rekontruksi/dekontrusi (pembongkaran) pemahaman masyarakat melalui
paradigma kritis. Dan harus diakui pula
bahwa agama diposisikan sebagai poros moralitas dan mampu menjadi inspirator
dalam moral forcement dalam seluruh
kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari sinilah agama akan benar-benar kembali
kefitrohnya, yakni melahirkan dan menjaga perdamaian dimuka bumi.
Penerapan Paradigma Kritis
Diatas telah banyak dikupas tentang
mengapa digunakannya paradigma kritis dalam tubuh PMII sebagai eksplorasi
pemikiran menuju tindakan. Maka dalam penerapannya tetap akan melihat realitas yang terjadi dan
sepenuhnya merupakan proses dialektika pemikiran manusia. Sehingga jangan heran
ketika sahabat-sahabat PMII dikesankan oleh NU, sebagai komunitas yang tidak
tahu etika dan tata krama terhadap orang tua (yakni orang tua NU). Meski
secara struktur-organisatoris PMII tidak berada dibawah NU.
Dalam
hal ini paradigma kritis diberlakukan hanya sebagai kerangka pikir (manhaj
al-fikr) dalam analisis dalam memandang persoalan. Tentunya dia tidak
dilepaskan dari ketentuan ajaran dan nilai-nilai agama. Dan bahkan ingin
mengembalikan dan menfungsikan ajaran agama sebagaimana mestinya. Konteks
inilah paradigma kritis tidak berkutat pada wilayah hal-hal yang bersifat
sakral. namun lebih pada persoalan yang bersifat profan. Lewat paradigma kritis
persoalan-persoalan yang bersifat profan dan sakral akan diposisikan secara
propesional. Dengan kata lain paradigma PMII berusaha untuk menegakkan sikap
kritis dalam berkehidupan dengan menjadikan ajaran agama sebagai inspirasi dan
motifasi untuk melakukan kekhalifahan dimuka bumi (kholifah fi al-ardh).
Setidak-tidaknya
ada 3 (tiga) hal, yang harus dilakukan dalam mengaktualisasikan
pemikiran menuju sebuah tindakan, yakni ; Pertama, mengadakan
pembongkaran terhadap ideologi, dengan memberikan kebebasan dari semua rantai
penindasan dalam kehidupan ekonomi maupun keimanannya.
Pembongkaran-pembongkaran ini kiranya bisa dilakukan dengan berfikir secara kritis
terhadap dogma-dogma. Masyarakat tidak begitu saja menerima ajaran agama yang
disampaikannya, namun bagaimana masyarakat agama juga berhak melakukan
tafsiran-tafsiran atas segala nilai dan pranata agama yang selama ini mereka
anut.
Proses
kritisisme dan interpretasi atas ajaran agama bukan berarti memberikan peluang
untuk memberikan peluang untuk menghancurkan agama itu sendiri, namun justru
sebaliknya bagaimana agama ditempatkan pada posisi atas agar tidak digunakan
oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Proses kritik ini tidak saja dilakukan
terhadap dogmatisme agama, namun juga budaya, tatanan masyarakat, dan
pemikiran-pemikiran sosial yang ada. Dengan berfikir kritis, maka akan terjadi
dialektika dan dinamika dalam kehidupan.
Kedua,
menyingkirkan tabir hegemonik. Penyingkiran terhadap tabir hegemonik tidak
hanya bermuara pada penguasa saja, namun juga tidak menutup kemungkinan pada
kalangan NU sendiri atau yang lain. Untuk mengaplikasikan paradigma kritis ini
tentunya PMII harus benar-benar menyatakan sikap perjuangannya untuk terlibat (involve)
langsung dalam membangun bangsa dan negara dengan tetap memperjuangkan
kepentingan rakyat banyak.
Ketiga, Semangat
religius Islam. PMII dalam membangun semangat kebangsaan dan pluralisme yang
tetap berada dalam frame dan semangat religiusitas Islam dengan tidak
meninggalkan wilayah sakral beragama, namun juga dapat masuk dalam wilayah
profan agama. Sehingga dalam
perjalanannya tidak akan terbentur dengan kelompok konservatisme yang
didalamnya.
Penutup
Kiranya
paradigma kritis bisa digunakan sebagai pola pikir dan cara pandang (manhaj
al-fikr) yang mampu menerjemahkan
dan mentransformasikan dalam
kehidupan dan kemaslahatan umat agar tercipta kehidupan yang tasamuh (toleransi), ta’adal (keadilan),
tawazun (kesetaraan), dan dialogis (syuro) diantara sesama
manusia.
Semoga
bermanfaat
Related Posts:
AHLUSSUNNAH WALJAMA’AH
AHLUSSUNNAH WALJAMA’AH
DALAM PERGUMULAN PEMIKIRAN
I
Pengantar
Telaah
terhadap Ahlussunnah Wal Jama’ah ( Aswaja ) sebagai bagaian dari kajian
keislaman –merupakan upaya yang mendudukkan aswaja secara proporsional,
bukannya semata-mata untuk mempertahankan sebuah aliran atau golongan tertentu
yang mungkin secara subyektif kita anggap baik karena rumusan dan konsep
pemikiran teologis yang diformulasikan oleh suatu aliran, sangat dipengaruhi
oleh suatu problem teologis pada masanya dan mempunyai sifat dan aktualisasinya
tertentu.
Pemaksaan suatu aliran tertentu yang
pernah berkembang di era tertentu untuk kita yakini, sama halnya dengan aliran
teologi sebagai dogma dan sekaligus mensucikan pemikiran keagamaan tertentu.
Padahal aliran teologi merupakan fenomena sejarah yang senantiasa membutuhkan
interpretasi sesuai dengan konteks zaman
yang melingkupinya. Jika hal ini mampu kita antisipasi berarti kita telah
memelihara kemerdekaan (hurriyah);
yakni kebebasan berfikir (hurriyah al-ra’yi), kebebasan berusaha dan
berinisiatif (hurriyah al-irodah) serta kebebasan berkiprah dan
beraktivitas (hurriyah al-harokah) (Said Aqil Siradj : 1998).
Berangkat
dari pemikiran diatas maka persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana
meletakkan aswaja sebagai metologi berfikir (manhaj al-fikr)?.Jika
mengharuskan untuk mengadakan sebuah pembaharuan makna atau inpretasi, maka
pembaharuan yang bagaimana bisa relevan
dengan kepentingan Islam dan Umatnya khususnya dalam intern PMII. Apakah aswaja
yang telah dikembangkan selama ini didalam tubuh PMII sudah masuk dalam
kategori proporsional? Inilah yang mungkin akan menjadi tulisan dalam tulisan
ini.
II
Aswaja
Dan Perkembangannya
Melacak akar-akar sejarah
munculnya istilah ahlul sunnah waljamaah, secara etimologis bahwa aswaja sudah terkenal sejak
Rosulullah SAW. Sebagai konfigurasi sejarah, maka secara umum aswaja mengalami
perkembangan dengan tiga tahap secara evolutif. Pertama, tahab embrional
pemikiran sunni dalam bidang teologi bersifat eklektik, yakni memilih salah
satu pendapat yang dianggap paling benar. Pada tahab ini masih merupakan tahab
konsolidasi, tokoh yang menjadi penggerak adalah Hasan al-Basri (w.110 H/728
M). Kedua, proses konsolidasi awal mencapai puncaknya setelah Imam
al-Syafi’I (w.205 H/820 M) berhasil menetapkan hadist sebagai sumber hukum
kedua setelah Al- qur’an dalam konstruksi pemikiran hukum Islam. Pada tahab
ini, kajian dan diskusi tentang teologi sunni berlangsung secara intensif. Ketiga,
merupakan kristalisasi teologi sunni disatu pihak menolak rasionalisme
dogma, di lain pihak menerima metode rasional dalam memahami agama. Proses
kristalisasi ini dilakukan oleh tiga tokoh dan sekaligus ditempat yang berbeda
pada waktu yang bersamaan, yakni; Abu Hasan al-Asy’ari (w.324 H/935 M)di
Mesopotamia, Abu Mansur al-Maturidi (w.331 H/944 M) di Samarkand, Ahmad Bin
Ja’far al-Thahawi (w.331 H/944 M) di Mesir. ( Nourouzzaman Shidiqi : 1996).
Pada zaman kristalisasi inilah Abu Hasan al-Asy’ari meresmikan sebagai aliran
pemikiran yang dikembangkan. Dan munculnya aswaja ini sebagai reaksi
teologis-politis terhadap Mu’tazilah, Khowarij dan Syi’ah yang dipandang oleh
As’ari sudah keluar dari paham yang semestinya.
Lain dengan para Ulama’ NU di
Indonesia menganggap aswaja sebagai upaya pembakuan atau menginstitusikan
prinsip-prinsip tawasuth (moderat), tasamuh (toleran) dan
tawazzun (seimbang). Perkembangkan selanjutnya oleh Said Aqil Shiroj
dalam mereformulasikan aswaja sebagai metode berfikir (manhaj al-fikr)
keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berdasarkan atas dasar
modernisasi, menjaga keseimbangan dan toleransi, tidak lain dan tidak bukan
adalah dalam rangka memberikan warna baru terhadap cetak biru (blue print)
yang sudah mulai tidak menarik lagi dihadapan dunia modern. Dari sinilah PMII
menggunakan aswaja sebagai manhaj al fikr dalam landasan gerak.
III
Aswaja
Sebagai Manhaj al-fikr
Dalam wacana metode pemikiran, para teolog
klasik dapat dikategorikan menjadi empat
kelompok. Pertama, kelompok rasionalis yang diwakili oleh aliran
Mu’tazilah yang pelopori oleh Washil bin Atho’, kedua, kelompok
tekstualis dihidupkan dan dipertahankan oleh aliran salaf yang munculkan oleh
Ibnu Taimiyah serta generasi berikutnya. Ketiga, kelompok yang
pemikirannya terfokuskan pada politik dan sejarah kaum muslimin yang diwakili
oleh syi’ah dan Khawarij, dan keempat, pemikiran sintetis yang dikembangkan
oleh Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi.
Didalam PMII Aswaja dijadikan Manhajul Fikri artinya
Aswaja bukan dijadikan tujuan dalam beragama melainkan dijadikan metode dalam
berfikir untuk mencapai kebenaran agama. Walaupun banyak tokoh yang telah
mencoba mendekontruksi isi atau konsep yang ada dalam aswaja tapi sampai
sekarang Aswaja dalam sebuah metode berfikir ada banyak relevansinya dalam
kehidupan beragama, sehingga PMII lebih terbuka dalam mebuka ruang dialektika
dengan siapapun dan kelompok apapun.
Rumusan aswaja sebagai manhajul fikri pertama kali
diintrodusir oleh Kang Said (panggilan akrab Said Aqil Siradj) dalam sebuah
forum di Jakarta pada tahun 1991. Upaya dekonstruktif ini selayaknya dihargai
sebagai produk intelektual walaupun juga tidak bijaksana jika diterima begitu
saja tanpa ada discourse panjang dan mendalam dari pada dipandang sebagai upaya
‘merusak’ norma atau tatanan teologis yang telah ada. Dalam perkembangannya,
akhirnya rumusan baru Kang Said diratifikasi menjadi konsep dasar aswaja di
PMII. Prinsip dasar dari aswaja sebagai manhajul fikri meliputi ; tawasuth (moderat),
tasamuh (toleran) dan tawazzun (seimbang). Aktualisasi dari prinsip yang
pertama adalah bahwa selain wahyu, kita juga memposisikan akal pada posisi yang
terhormat (namun tidak terjebak pada mengagung-agungkan akal) karena martabat
kemanusiaan manusia terletak pada apakah dan bagaimana dia menggunakan akal
yang dimilikinya. Artinya ada sebuah keterkaitan dan keseimbangan yang mendalam
antara wahyu dan akal sehingga kita tidak terjebak pada paham skripturalisme
(tekstual) dan rasionalisme. Selanjutnya, dalam konteks hubungan sosial,
seorang kader PMII harus bisa menghargai dan mentoleransi perbedaan yang ada
bahkan sampai pada keyakinan sekalipun. Tidak dibenarkan kita memaksakan
keyakinan apalagi hanya sekedar pendapat kita pada orang lain, yang
diperbolehkan hanyalah sebatas menyampaikan dan mendialiektikakan keyakinan
atau pendapat tersebut, dan ending-nya diserahkan pada otoritas individu dan hidayah
dari Tuhan. Ini adalah manifestasi dari prinsip tasamuh dari
aswaja sebagai manhajul fikri. Dan yang terakhir adalah tawazzun
(seimbang). Penjabaran dari prinsip tawazzun meliputi berbagai aspek kehidupan,
baik itu perilaku individu yang bersifat sosial maupun dalam konteks politik
sekalipun. Ini penting karena seringkali tindakan atau sikap yang diambil dalam
berinteraksi di dunia ini disusupi oleh kepentingan sesaat dan keberpihakan
yang tidak seharusnya. walaupun dalam kenyataannya sangatlah sulit atau bahkan
mungkin tidak ada orang yang tidak memiliki keberpihakan sama sekali, minimal
keberpihakan terhadap netralitas. Artinya, dengan bahasa yang lebih sederhana
dapat dikatakan bahwa memandang dan memposisikan segala sesuatu pada
proporsinya masing-masing adalah sikap yang paling bijak, dan bukan tidak
mengambil sikap karena itu adalah manifestasi dari sikap pengecut dan
oportunis.
IV
Penutup
Ini bukanlah sesuatu yang saklek yang tidak bisa
direvisi atau bahkan diganti sama sekali dengan yang baru, sebab ini adalah
‘hanya’ sebuah produk intelektual yang sangat dipengaruhi ruang dan waktu dan
untuk menghindari pensucian pemikiran yang pada akhirnya akan berdampak pada
kejumudan dan stagnansi dalam berpikir. Sangat terbuka dan kemungkinan untuk
mendialektikakan kembali dan kemudian merumuskan kembali menjadi rumusan yang
kontekstual. Karena itu, yakinlah apa yang anda percayai saat ini adalah benar
dan yang lain itu salah, tapi jangan tutup kemungkinan bahwa semuanya itu bisa
berbalik seratus delapan puluh derajat.
Related Posts:
CITRA DIRI ULUL
ALBAB
Individu-individu yang membentuk komunitas PMII
dipersatukan oleh konstruksi ideal seorang manusia. Seacra idiologis, PMII
merumuskannya sebagai Ulul Albab sebaagi citra diri kader PMII. Ulul Albab
secara umum didefinisikan sebagai seseorang yang selalu haus akan ilmu
pengetahuan (olah pikir) dan ia pun tak lupa mengayun zikir. Dengan sangat
jelas Ulul Albab disarikan dalam motto PMII: dzikir, fikir, dan amal sholeh.
Dalam Al Quran secara lengkap kader Ulul Albab digambarkan sebagai
berikut:
- Al-Baqarah (2): 179
- Al-Baqarah (2): 197
- Al-Baqarah (2): 296
- Ali-Imran (3): 190
- Ali –Imran (3): 190
- Al-Maidah (5): 100
- Al-Ra’ad (13): 19
- Ibrahim (14): 52
- Shaad (38): 29
- Shaad (38): 30
- Al-Zumar
- Al-Zumar (39): 17-18
- Al-Zumar (39):21
- Al-Mu’min (40): 53-54
- Al-Talaq (65): 10
- berkesadaran Historis-primodial atas relasi Tuhan-Manusia dan Alam
- berjiwa optimis-transendental atas kemampuan mengatasi masalah kehidupan
- berpikir secara dialektis
- bersikap kritis
- bertindak transformatif
“dan dalam hukum qishos itu ada (jaminan kelangsungan)
hidup bagimu, hai Ulul Albab, supaya kamu bertaqwa”.
“dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya
Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sebaik-baik bekal adalah taqwa dan
bertaqwalah kepada-Ku wahai Ulul Albab”.
“Allah menanugerahkan al-hikmah (kefahaman yang mendalam
tentang Al-Quran dan Hadits) kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Dan barabg
siapa dianugerahi al-hikmah itu, amak ia benar-benar dianugerahi karunia yang
banyak. Dan hanya Ulul Albab yang dapat mengambil pelajaran”.
“Dialah yang menurunkan Al-Kitab kepada kamu. Diantara
isinya ada ayat-ayat muhkamah sebagai pokok-pokok isi Al-Quran dan yang lain
(ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang yang dalam hatinya condong kepada
kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat mutasyabihan untuk
menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari tugas akhir-awalnya. Dan orang-orang
yang mendalam ilmunya mengatakan “kamu beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat,
semua itu dari sisi Tuhan kami”. Dan kami tidak dapat mengambil pelajaran
darinya melainkan Ulul Albab”.
“sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumidan silih
bergantinya malam dan siang terdapat bagi tanda-tanda Ulul Albab”.
“katakanlah: tidak sama yang buruk dan yang baik,
meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertaqwalah kepada Allah
hai Ulul Albab, agar kamu mendapat keuntungan”.
“adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang
diturunkankepadamu dari tuhanmu itu benar-benar sama dengan orang yang buta?
Hanyalah Ulul Albab saja yang dapat mengambil pelajaran”.
“(Al-Quran) ini adalah penjelasan sempurna bagi manusia dan
supaya mereka diberi peringatan dengannya dan supaya mereka mengetahui
bahwasanya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan Agar Ulul Albab mengambil
pelajaran”.
“ini adalah sebuah kitab yang diturunkan kepadamupenuh
dengan berkah supaya mereka memperhatikanayat-ayatnya supaya mendapat pelajaran
Ulul Albab”.
“dan kami anugerahi dia dengan mengumpulkan kembali
keluarganya dan kami tambahkan kepada mereka sebanyak mereka pula sebagai
rahmad dari kami dan pelajaran bagi Ulul Albab”.
“apakah kamu hai orang-orang musyrik yang lebih
beruntung ataukah orang-orang yang beribadah diwaktu malam dengan sujud dan
berdiri, sedang ia takut kepada azab akhirat dan mengahrapkan rahmatTuhannya?
Katakanlah: adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang
tidak mengetahui? Sesungguhnya Ulul Albab yang dapat menerima pelajaran”.
“dan orang-orang yang menjauhi taghut yaitu tidak
menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira, sebab itu
sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan dan
mengikuti apa yang terbaikdiantaranya. Mereka itulah orasng-orang yang diberi
Allah petunjuk dan mereka itulah Ulul Albab”.
“apakah kamu tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya
Allah menurunkan air langit dari bumi, maka diaturnya menjadi sumber-sumber
dibumi klemudian ditumbuhkan dengan air itu tanaman-tanaman yang bermacam-macam
warnanya, lalu ia menjadikan kering lalu kamu melihatnya kekuning-kiningan,
kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat pelajaran bagi Ulul Albab”.
“dan sesungguhnya telah kami berikan petunjuk kepada
Musa, dan kami wariskan taurat ke[pada bani Israil untuk menjadi petunjuk dan
peringatan bagibani Ulul Albab”.
“Allah menyediakan bagi mereka orang-orang yanag
mendurhakai perintah Allah dan Rosul-Nya azab yang keras, maka bertaqwalah
kepada Allah hai Ulul Albab, yaitu orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Allah
telah menurunkan peringatan kepadamu”.
Dari elaborasi
teks diatas, komunitas Ulul Albab dapat dicirikan sebagai berikut:
Sikap atau gerakan seperti ini bisa berinspirasi pada suatu
pandangan keagamaan yang transformatif. Nah. Ulul Albab adalah orang yang mampu
mentransformasikan keyakinan keagamaan atau ketaqwaan dalam pikiran dan tindakan
yang membebaskan; melawan Thaghut.
Semoga Bermanfaat..
Related Posts:
Langganan:
Postingan (Atom)