PARADIGMA PMII

PARADIGMA PMII DALAM MENGAKTUALISASIKAN PEMIKIRAN DAN GERAKANk
(Telaah Terhadap Empowerment Society Menuju Civil Society )*

Pendahuluan
            Sebagai organisasi, PMII tentunya tidak berbeda dengan organisasi-organisasi lainnya, dimana untuk menjalankan roda organisasi dan bagaimana organissi mengambil sikap atas fenomena dan persoalan yang berkembang pada wilayah empiris. Maka diperlukan sebuah landasan, pedoman dan cara pandang. Pedoman, landasan atau cara pandang itulah yang dinamakan dengan paradigma. Paradigma menjadi sangat signifikan dalam sebuah organisasi karena merupakan sebuah ruh dari sebuah pergerakan untuk mnentukan sikap atas persoalan yang ada, baik persoalan internal organisasi maupun persoalan eksternal organisasi.
Paradigma dalam PMII menjadi penting dikarenakan paradigma merupakan cara dalam “mendekati” obyek kajian atau persoalan (The subject matter of particular discipline). Orientasi atau pendekatan umum (general orientations) ini didasarkan pada asumsi-asumsi yang dibangun dalam kaitan dengan bagaimana “realita” dilihat untuk kemudian dianalisa. Dengan demikian PMII tidak akan buta dengan melihat realitas-empiris disela-sela hiruk-pikuknya persoalan yang ada, serta tidak bisu untuk melantangkan suara ketidak adilan yang terjadi dimana-mana.
Sehingga sangat tegas bahwa PMII telah memilih Paradigma Kritis sebagai dasar untuk bertindak (to act) dan mengaplikasikan pemikiran pemikiran serta menyusun cara pandang dalam melakukan sebuah analisa atas berbagai persoalan yang ada disekitar kita.


Mengapa Paradigma Kritis
            Dalam memilih paradigma kritis ini, tentunya mempunyai berbagai alasan yang mendasarinya,  antara lain :
Secara Internal, pertama; teori ini menerima pandangan tentang perlunya kategori imperatif paham ilmu-ilmu sosial yang sejalan dengan argumen yang mendukung interperatif. Dan model kritis menyetakan bahwa untuk memilki pokok bahasan (subjet matter) seorang harus mempunyai maksud dan keinginan para pelaku yang diamatinya dan juga aturan serta makna konstitutif tatanan sosial mereka. Untuk melakukan ini semua maka digunakan pola pikir kritis.
Kedua, Menghindari sebuah kegiatan yang mempunyai asumsi kebetulan. Yaitu dengan cara membongkar sistem hubungan sosial yang menentukan tindakan individu. Dalam bahasanya Paulo freire adalah kesadaran kritis (critical consciusns). Model berfikir kritis merupakan model yang menuntut bahwa para praktikusnya berusaha untuk menemukan kaidah kuasi-kausal darn fungsional tentang  tingkah laku sosial dalam konstalasi kehidupan sosial sehari-hari.
Ketiga,  Teori kritis bagaian dari ilmu-ilmu soaial yang dapat digunakan untuk mengeksplor tentang teori-teori ilmiah sekaligus dalam penyikapan terhadap realitas sosial yang berkembang.
Model berfikir paradigma kritis ini menganggap hubungan yang tersembunyi antara teori dan praktek sebagai salah satu titik tolaknya, dan ini berarti bahwa model ini mempertalikan pendirian pengetahuannya dengan pemuasan tujuan dan keinginan manusia.
Secara Eksternal, paradigma kritis sangat berfungsi bagi PMII, pertama; masyarakat indonesia adalah masyarakat plural (majemuk)  yang terdiri dari suku,,agama, ras (etnis) dan tradisi, kultur maupun kepercayaan. Pluralitas bangsa inilah yang menyimpan kekayaan akan konflik yang luar biasa. Disi lain ternya pluralitas terkadang dipahami sebagai pembatas (penghalang) ideoloi antara komunitas satu dengan komunitas yang lain. Kondisi seperti inilah akan lebih tepat digunakannya paradigma kritis, karena paradigma ini akan memberikan tempat yang sama (toward open and equal society)  bagi setiap individu maupun kelompok masyarakat untuk mengembangkan potensi diri dan kreativitasnya secara maksimal melalui dialog terbuka, transparan dan jujur. Dengan bahasa sederhananya “memanusiakan manusia”.
Kedua, masyarakat Indonesia saat ini telah terbelenggu oleh nilai-nilai kapitalisme modern yang dapat mengakibatkan ketergantungan bagi masyarakat setiap adanya suatu perubahan (hanyalah meniru dan mengikuti) dengan asumsi siapa yang tidak melakukannya maka dia akan ditinggalkan dan dipinggirkannya oleh perkembangan jaman.  Hal ini tanpa disadari telah mengekang dan memandulkan  kesadaran rakyat untuk mengembangkan kreativitas dan pola pikir, dengan meminjam istilah Mark, bahwa kapitalisme inilah yang mengakibatkan manusia terasing (alienated) dari diri dan lingkungannya. Dalam kondisi inilah peradigma kritis menjadi keniscayaan untuk diterapkan.
Ketiga, selama pemerintahan Orde Baru, pemerintahan dijalankan dengan cara hegemonik-militeristik, yang mengakibatkan ruang publik masyarakat –atau dalam bahasa Habermas, public sphere menjadi hilang.  Dampak dari sistem ini adalah masyarakat dihinggapi budaya bisu dalam berkreasi, berinovasi, maupun melakukan pemberontakan. Lebih radikal lagi, seluruh potensi dan kekuatan pemberontakan atau jiwa kritisisme yang dimiliki telah dipuberhanguskan dengan cara apapun demi melenggangkan kekuasaan status quo negara. Melihat fenomena seperti ini maka perlu untuk dilakuknnya sebuah pemberdayaan (empowerment) bagi rakyatIndonesia sebagai artikulasi sikap kritik dan pemberontak terhadap negara yang totaliter – hegemonik. Untuk melakukan upaya empowerment, enforcemen (penguatan), sekaligus memperkuat civil society dihadapan negara melalui paradigma kritis sebagai pola pikir dan cara pandang masyarakat kita agar rakyat dan negara mmempunyai posisi setara (equal).
Keempat, menghancurkan paradigma keteraturan (order paradigm). Karena penerapan paradigma keteraturan ini, pemerintah harus menjaga harmoni dan keseimbangan sosial (sicial harmony), sehingga gejolak sekecil apapun harus diredam agar tidak mengusik ketenangan semu mereka. Dengan paradigma inilah masyarakat akan dijadikan robot yang hanya diperlakukan sana-kemari tanpa memberikan kebebasan mereka untuk berfikir dan berkreasi dalam mengapresiasikan kemauannya. Untuk melakukan pemberontakan atas belenggu dan kejumudan berfikir semacam itu, maka diperlukan paradigma kritis.
Kelima, masih kuatnya belenggu dogmatisme agama dan tradisi. Sehingga secara tidak sadar telah terjadi pemahaman yang distortif tentang ajaran dan fungsi agama. Lebih parah lagi ketika terjadi dogmatisasi agama sehingga kita tidak bisa membedakan lagi mana yang dianggap dogma dan mana yang dianggao sebagai pemikiran. Akhirnya agama terkesa kering dan kaku, bahkan tidak jarang agama menjadi penghalang bagi kemajuan dan upaya penegakan nilai-nilai kemanusiaan. Sementara disisi lain agama hanya dijadikan komoditas kendaran atau lokomotif bagi kepentingan politik (kekuasaan) oleh kelompok tertentu. Dengan terma-terma agama, masyarakat menjadi terbius dan tidak mampu untuk melakukan kritik. Dengan demikian sangatlah perlu untuk mengembalikan fungsi dan ajaran agama. Upaya tersebut adalah dengan mengadakan rekontruksi/dekontrusi (pembongkaran) pemahaman masyarakat melalui paradigma kritis.  Dan harus diakui pula bahwa agama diposisikan sebagai poros moralitas dan mampu menjadi inspirator dalam moral forcement  dalam seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari sinilah agama akan benar-benar kembali kefitrohnya, yakni melahirkan dan menjaga perdamaian dimuka bumi.

Penerapan Paradigma Kritis
        Diatas telah banyak dikupas tentang mengapa digunakannya paradigma kritis dalam tubuh PMII sebagai eksplorasi pemikiran menuju tindakan. Maka dalam penerapannya  tetap akan melihat realitas yang terjadi dan sepenuhnya merupakan proses dialektika pemikiran manusia. Sehingga jangan heran ketika sahabat-sahabat PMII dikesankan oleh NU, sebagai komunitas yang tidak tahu etika dan tata krama terhadap orang tua (yakni orang tua NU). Meski secara struktur-organisatoris PMII tidak berada dibawah NU.
            Dalam hal ini paradigma kritis diberlakukan hanya sebagai kerangka pikir (manhaj al-fikr) dalam analisis dalam memandang persoalan. Tentunya dia tidak dilepaskan dari ketentuan ajaran dan nilai-nilai agama. Dan bahkan ingin mengembalikan dan menfungsikan ajaran agama sebagaimana mestinya. Konteks inilah paradigma kritis tidak berkutat pada wilayah hal-hal yang bersifat sakral. namun lebih pada persoalan yang bersifat profan. Lewat paradigma kritis persoalan-persoalan yang bersifat profan dan sakral akan diposisikan secara propesional. Dengan kata lain paradigma PMII berusaha untuk menegakkan sikap kritis dalam berkehidupan dengan menjadikan ajaran agama sebagai inspirasi dan motifasi untuk melakukan kekhalifahan dimuka bumi (kholifah fi al-ardh).
            Setidak-tidaknya ada 3 (tiga) hal, yang harus dilakukan dalam mengaktualisasikan pemikiran menuju sebuah tindakan, yakni ; Pertama, mengadakan pembongkaran terhadap ideologi, dengan memberikan kebebasan dari semua rantai penindasan dalam kehidupan ekonomi maupun keimanannya. Pembongkaran-pembongkaran ini kiranya bisa dilakukan dengan berfikir secara kritis terhadap dogma-dogma. Masyarakat tidak begitu saja menerima ajaran agama yang disampaikannya, namun bagaimana masyarakat agama juga berhak melakukan tafsiran-tafsiran atas segala nilai dan pranata agama yang selama ini mereka anut.
            Proses kritisisme dan interpretasi atas ajaran agama bukan berarti memberikan peluang untuk memberikan peluang untuk menghancurkan agama itu sendiri, namun justru sebaliknya bagaimana agama ditempatkan pada posisi atas agar tidak digunakan oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Proses kritik ini tidak saja dilakukan terhadap dogmatisme agama, namun juga budaya, tatanan masyarakat, dan pemikiran-pemikiran sosial yang ada. Dengan berfikir kritis, maka akan terjadi dialektika dan dinamika dalam kehidupan.
            Kedua, menyingkirkan tabir hegemonik. Penyingkiran terhadap tabir hegemonik tidak hanya bermuara pada penguasa saja, namun juga tidak menutup kemungkinan pada kalangan NU sendiri atau yang lain. Untuk mengaplikasikan paradigma kritis ini tentunya PMII harus benar-benar menyatakan sikap perjuangannya untuk terlibat (involve) langsung dalam membangun bangsa dan negara dengan tetap memperjuangkan kepentingan rakyat banyak.
            Ketiga, Semangat religius Islam. PMII dalam membangun semangat kebangsaan dan pluralisme yang tetap berada dalam frame dan semangat religiusitas Islam dengan tidak meninggalkan wilayah sakral beragama, namun juga dapat masuk dalam wilayah profan agama. Sehingga dalam perjalanannya tidak akan terbentur dengan kelompok konservatisme yang didalamnya.   

Penutup
            Kiranya paradigma kritis bisa digunakan sebagai pola pikir dan cara pandang (manhaj al-fikr) yang mampu menerjemahkan  dan mentransformasikan  dalam kehidupan dan kemaslahatan umat agar tercipta kehidupan yang  tasamuh (toleransi), ta’adal (keadilan), tawazun (kesetaraan), dan dialogis (syuro) diantara sesama manusia.


Semoga bermanfaat




Related Posts:

AHLUSSUNNAH WALJAMA’AH

AHLUSSUNNAH WALJAMA’AH
DALAM PERGUMULAN PEMIKIRAN

I

Pengantar
            Telaah terhadap Ahlussunnah Wal Jama’ah ( Aswaja ) sebagai bagaian dari kajian keislaman –merupakan upaya yang mendudukkan aswaja secara proporsional, bukannya semata-mata untuk mempertahankan sebuah aliran atau golongan tertentu yang mungkin secara subyektif kita anggap baik karena rumusan dan konsep pemikiran teologis yang diformulasikan oleh suatu aliran, sangat dipengaruhi oleh suatu problem teologis pada masanya dan mempunyai sifat dan aktualisasinya tertentu.
            Pemaksaan suatu aliran tertentu yang pernah berkembang di era tertentu untuk kita yakini, sama halnya dengan aliran teologi sebagai dogma dan sekaligus mensucikan pemikiran keagamaan tertentu. Padahal aliran teologi merupakan fenomena sejarah yang senantiasa membutuhkan interpretasi  sesuai dengan konteks zaman yang melingkupinya. Jika hal ini mampu kita antisipasi berarti kita telah memelihara kemerdekaan  (hurriyah); yakni kebebasan berfikir (hurriyah al-ra’yi), kebebasan berusaha dan berinisiatif (hurriyah al-irodah) serta kebebasan berkiprah dan beraktivitas (hurriyah al-harokah) (Said Aqil Siradj : 1998).
            Berangkat dari pemikiran diatas maka persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana meletakkan aswaja sebagai metologi berfikir (manhaj al-fikr)?.Jika mengharuskan untuk mengadakan sebuah pembaharuan makna atau inpretasi, maka pembaharuan yang bagaimana  bisa relevan dengan kepentingan Islam dan Umatnya khususnya dalam intern PMII. Apakah aswaja yang telah dikembangkan selama ini didalam tubuh PMII sudah masuk dalam kategori proporsional? Inilah yang mungkin akan menjadi tulisan dalam tulisan ini.

 

II

Aswaja Dan Perkembangannya

            Melacak akar-akar sejarah munculnya istilah ahlul sunnah waljamaah, secara  etimologis bahwa aswaja sudah terkenal sejak Rosulullah SAW. Sebagai konfigurasi sejarah, maka secara umum aswaja mengalami perkembangan dengan tiga tahap secara evolutif. Pertama, tahab embrional pemikiran sunni dalam bidang teologi bersifat eklektik, yakni memilih salah satu pendapat yang dianggap paling benar. Pada tahab ini masih merupakan tahab konsolidasi, tokoh yang menjadi penggerak adalah Hasan al-Basri (w.110 H/728 M). Kedua, proses konsolidasi awal mencapai puncaknya setelah Imam al-Syafi’I (w.205 H/820 M) berhasil menetapkan hadist sebagai sumber hukum kedua setelah Al- qur’an dalam konstruksi pemikiran hukum Islam. Pada tahab ini, kajian dan diskusi tentang teologi sunni berlangsung secara intensif. Ketiga, merupakan kristalisasi teologi sunni disatu pihak menolak rasionalisme dogma, di lain pihak menerima metode rasional dalam memahami agama. Proses kristalisasi ini dilakukan oleh tiga tokoh dan sekaligus ditempat yang berbeda pada waktu yang bersamaan, yakni; Abu Hasan al-Asy’ari (w.324 H/935 M)di Mesopotamia, Abu Mansur al-Maturidi (w.331 H/944 M) di Samarkand, Ahmad Bin Ja’far al-Thahawi (w.331 H/944 M) di Mesir. ( Nourouzzaman Shidiqi : 1996). Pada zaman kristalisasi inilah Abu Hasan al-Asy’ari meresmikan sebagai aliran pemikiran yang dikembangkan. Dan munculnya aswaja ini sebagai reaksi teologis-politis terhadap Mu’tazilah, Khowarij dan Syi’ah yang dipandang oleh As’ari sudah keluar dari paham yang semestinya.
            Lain dengan para Ulama’ NU di Indonesia menganggap aswaja sebagai upaya pembakuan atau menginstitusikan prinsip-prinsip tawasuth (moderat), tasamuh (toleran) dan tawazzun (seimbang). Perkembangkan selanjutnya oleh Said Aqil Shiroj dalam mereformulasikan aswaja sebagai metode berfikir (manhaj al-fikr) keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berdasarkan atas dasar modernisasi, menjaga keseimbangan dan toleransi, tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka memberikan warna baru terhadap cetak biru (blue print) yang sudah mulai tidak menarik lagi dihadapan dunia modern. Dari sinilah PMII menggunakan aswaja sebagai manhaj al fikr dalam landasan gerak.

III

Aswaja Sebagai Manhaj al-fikr

             Dalam wacana metode pemikiran, para teolog klasik  dapat dikategorikan menjadi empat kelompok. Pertama, kelompok rasionalis yang diwakili oleh aliran Mu’tazilah yang pelopori oleh Washil bin Atho’, kedua, kelompok tekstualis dihidupkan dan dipertahankan oleh aliran salaf yang munculkan oleh Ibnu Taimiyah serta generasi berikutnya. Ketiga, kelompok yang pemikirannya terfokuskan pada politik dan sejarah kaum muslimin yang diwakili oleh syi’ah dan Khawarij, dan keempat, pemikiran sintetis yang dikembangkan oleh Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi.
Didalam PMII Aswaja dijadikan Manhajul Fikri artinya Aswaja bukan dijadikan tujuan dalam beragama melainkan dijadikan metode dalam berfikir untuk mencapai kebenaran agama. Walaupun banyak tokoh yang telah mencoba mendekontruksi isi atau konsep yang ada dalam aswaja tapi sampai sekarang Aswaja dalam sebuah metode berfikir ada banyak relevansinya dalam kehidupan beragama, sehingga PMII lebih terbuka dalam mebuka ruang dialektika dengan siapapun dan kelompok apapun.
Rumusan aswaja sebagai manhajul fikri pertama kali diintrodusir oleh Kang Said (panggilan akrab Said Aqil Siradj) dalam sebuah forum di Jakarta pada tahun 1991. Upaya dekonstruktif ini selayaknya dihargai sebagai produk intelektual walaupun juga tidak bijaksana jika diterima begitu saja tanpa ada discourse panjang dan mendalam dari pada dipandang sebagai upaya ‘merusak’ norma atau tatanan teologis yang telah ada. Dalam perkembangannya, akhirnya rumusan baru Kang Said diratifikasi menjadi konsep dasar aswaja di PMII. Prinsip dasar dari aswaja sebagai manhajul fikri meliputi ; tawasuth (moderat), tasamuh (toleran) dan tawazzun (seimbang). Aktualisasi dari prinsip yang pertama adalah bahwa selain wahyu, kita juga memposisikan akal pada posisi yang terhormat (namun tidak terjebak pada mengagung-agungkan akal) karena martabat kemanusiaan manusia terletak pada apakah dan bagaimana dia menggunakan akal yang dimilikinya. Artinya ada sebuah keterkaitan dan keseimbangan yang mendalam antara wahyu dan akal sehingga kita tidak terjebak pada paham skripturalisme (tekstual) dan rasionalisme. Selanjutnya, dalam konteks hubungan sosial, seorang kader PMII harus bisa menghargai dan mentoleransi perbedaan yang ada bahkan sampai pada keyakinan sekalipun. Tidak dibenarkan kita memaksakan keyakinan apalagi hanya sekedar pendapat kita pada orang lain, yang diperbolehkan hanyalah sebatas menyampaikan dan mendialiektikakan keyakinan atau pendapat tersebut, dan ending-nya diserahkan pada otoritas individu dan hidayah dari Tuhan. Ini adalah manifestasi dari prinsip tasamuh dari aswaja sebagai manhajul fikri. Dan yang terakhir adalah tawazzun (seimbang). Penjabaran dari prinsip tawazzun meliputi berbagai aspek kehidupan, baik itu perilaku individu yang bersifat sosial maupun dalam konteks politik sekalipun. Ini penting karena seringkali tindakan atau sikap yang diambil dalam berinteraksi di dunia ini disusupi oleh kepentingan sesaat dan keberpihakan yang tidak seharusnya. walaupun dalam kenyataannya sangatlah sulit atau bahkan mungkin tidak ada orang yang tidak memiliki keberpihakan sama sekali, minimal keberpihakan terhadap netralitas. Artinya, dengan bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa memandang dan memposisikan segala sesuatu pada proporsinya masing-masing adalah sikap yang paling bijak, dan bukan tidak mengambil sikap karena itu adalah manifestasi dari sikap pengecut dan oportunis.
IV
Penutup

Ini bukanlah sesuatu yang saklek yang tidak bisa direvisi atau bahkan diganti sama sekali dengan yang baru, sebab ini adalah ‘hanya’ sebuah produk intelektual yang sangat dipengaruhi ruang dan waktu dan untuk menghindari pensucian pemikiran yang pada akhirnya akan berdampak pada kejumudan dan stagnansi dalam berpikir. Sangat terbuka dan kemungkinan untuk mendialektikakan kembali dan kemudian merumuskan kembali menjadi rumusan yang kontekstual. Karena itu, yakinlah apa yang anda percayai saat ini adalah benar dan yang lain itu salah, tapi jangan tutup kemungkinan bahwa semuanya itu bisa berbalik seratus delapan puluh derajat. 

Related Posts:

CITRA DIRI ULUL ALBAB

  
Individu-individu yang membentuk komunitas PMII dipersatukan oleh konstruksi ideal seorang manusia. Seacra idiologis, PMII merumuskannya sebagai Ulul Albab sebaagi citra diri kader PMII. Ulul Albab secara umum didefinisikan sebagai seseorang yang selalu haus akan ilmu pengetahuan (olah pikir) dan ia pun tak lupa mengayun zikir. Dengan sangat jelas Ulul Albab disarikan dalam motto PMII: dzikir, fikir, dan amal sholeh.
Dalam Al Quran secara lengkap kader Ulul Albab digambarkan sebagai berikut:

  1. Al-Baqarah (2): 179
  1. Al-Baqarah (2): 197
  1. Al-Baqarah (2): 296
  1. Ali-Imran (3): 190
  1. Ali –Imran (3): 190
  1. Al-Maidah (5): 100
  1. Al-Ra’ad (13): 19
  1. Ibrahim (14): 52
  1. Shaad (38): 29
  1. Shaad (38): 30
  1. Al-Zumar
  1. Al-Zumar (39): 17-18
  1. Al-Zumar (39):21
  1. Al-Mu’min (40): 53-54
  1. Al-Talaq (65): 10
  1. berkesadaran Historis-primodial atas relasi Tuhan-Manusia dan Alam
  1. berjiwa optimis-transendental atas kemampuan mengatasi masalah kehidupan
  1. berpikir secara dialektis
  1. bersikap kritis
  1. bertindak transformatif

“dan dalam hukum qishos itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai Ulul Albab, supaya kamu bertaqwa”.
“dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku wahai Ulul Albab”.
“Allah menanugerahkan al-hikmah (kefahaman yang mendalam tentang Al-Quran dan Hadits) kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Dan barabg siapa dianugerahi al-hikmah itu, amak ia benar-benar dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya Ulul Albab yang dapat mengambil pelajaran”.
“Dialah yang menurunkan Al-Kitab kepada kamu. Diantara isinya ada ayat-ayat muhkamah sebagai pokok-pokok isi Al-Quran dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat mutasyabihan untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari tugas akhir-awalnya. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya mengatakan “kamu beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat, semua itu dari sisi Tuhan kami”. Dan kami tidak dapat mengambil pelajaran darinya melainkan Ulul Albab”.
“sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumidan silih bergantinya malam dan siang terdapat bagi tanda-tanda Ulul Albab”.
“katakanlah: tidak sama yang buruk dan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertaqwalah kepada Allah hai Ulul Albab, agar kamu mendapat keuntungan”.
“adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkankepadamu dari tuhanmu itu benar-benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah Ulul Albab saja yang dapat mengambil pelajaran”.
“(Al-Quran) ini adalah penjelasan sempurna bagi manusia dan supaya mereka diberi peringatan dengannya dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan Agar Ulul Albab mengambil pelajaran”.
“ini adalah sebuah kitab yang diturunkan kepadamupenuh dengan berkah supaya mereka memperhatikanayat-ayatnya supaya mendapat pelajaran Ulul Albab”.
“dan kami anugerahi dia dengan mengumpulkan kembali keluarganya dan kami tambahkan kepada mereka sebanyak mereka pula sebagai rahmad dari kami dan pelajaran bagi Ulul Albab”.
“apakah kamu hai orang-orang musyrik yang lebih beruntung ataukah orang-orang yang beribadah diwaktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada azab akhirat dan mengahrapkan rahmatTuhannya? Katakanlah: adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya Ulul Albab yang dapat menerima pelajaran”.
“dan orang-orang yang menjauhi taghut yaitu tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira, sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan dan mengikuti apa yang terbaikdiantaranya. Mereka itulah orasng-orang yang diberi Allah petunjuk dan mereka itulah Ulul Albab”.
“apakah kamu tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah menurunkan air langit dari bumi, maka diaturnya menjadi sumber-sumber dibumi klemudian ditumbuhkan dengan air itu tanaman-tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu ia menjadikan kering lalu kamu melihatnya kekuning-kiningan, kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi Ulul Albab”.
“dan sesungguhnya telah kami berikan petunjuk kepada Musa, dan kami wariskan taurat ke[pada bani Israil untuk menjadi petunjuk dan peringatan bagibani Ulul Albab”.
“Allah menyediakan bagi mereka orang-orang yanag mendurhakai perintah Allah dan Rosul-Nya azab yang keras, maka bertaqwalah kepada Allah hai Ulul Albab, yaitu orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Allah telah menurunkan peringatan kepadamu”.
                        Dari elaborasi teks diatas, komunitas Ulul Albab dapat dicirikan sebagai berikut:

Sikap atau gerakan seperti ini bisa berinspirasi pada suatu pandangan keagamaan yang transformatif. Nah. Ulul Albab adalah orang yang mampu mentransformasikan keyakinan keagamaan atau ketaqwaan dalam pikiran dan tindakan yang membebaskan; melawan Thaghut
Semoga Bermanfaat..

Related Posts: