AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH (ASWAJA)

AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH (ASWAJA) MAKALAH Dibuat sebagai salah satu syarat mengikuti sekolah ahlu Sunnah wal jamaah (Aswaja) yang diselenggarakan oleh PC.PMII Kab.Cianjur Di susun Oleh : Nama : Siti Nuraeni (Acha) Semester : VI A Delegasi : PK.PMII STAI Al-Azhary PENGURUS KOMISARIAT PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA STAI AL-AZHARY KAB.CIANJUR JL.Panembong Asten (Belakang Toko Kue Kencana Sari) Desa Mekarsari Kec.Cianjur Kab.Cianjur KATA PENGANTAR Assalmualaikum Wr.Wb. Alhamdulilah Hirobbil alamin, Wabihi Nasta’inu Ngala ‘Umuridun’ya waddin, Wa’ala A’lihi Wasohbihi Ajma’in (Amma Ba’du). Puji Syukur Marilah kita panjatkan khadirot Allah Swt, Sholat berserta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada jungjungan Nabi Besar Kita, yakni sang revolusioner Islam Habibana Wanabiyana Muhammad Saw.Tidak lupa juga kepada para sahabat yang senantiasa menemani perjuangan Nabi Muhammad Saw. Sungguh menjadi kabar yang sangat mengembirakan sekaligu mengharukan kita semua selaku anggota dan kader PMII Se-Kabupaten cianjur, dalam rangka kegiatan sekolah aswaja yang diselenggarakan oleh Pc.PMII Ka.Cianjur sangat begitu kami Apresiasi sekali. Karena dengan diselenggarakan kegiatan sekolah aswaja ini, semoga menjadi cambuk bagi semangat gerakan kita untuk mempertegas nilai-nilai ke Islaman dan Nilai-nilai Keindonesia dalam kerangka Ahlu Sunnah Wal jamaah. Demikian Prakata dari penulis semoga Goresan tinta yang saya tuliskan dalam bentuk makalah ini, mampu menjadi Spirit bagi sahabat-sahabat PMII kab.Cianjur. karena atas dorongan dan motivasi sahabat-sahabat saya masih tetap bisa istiqomah di PMII. Tangan Terkepal dan Maju ke Muka !!! Wallahul MuaffIq Illa Aqwamithoriq wassalamu’alaikum Wr.Wb. Cianjur, 18 Maret 2015 Penulis DAFTAR ISI KATA PENGANTAR : DAFTAR ISI : BAB I PENDAHULUAN : BAB II PEMBAHASAAN : A. Historis Aswaja : B. Aswaja Manhaj Al-Fiqr : BAB III PENUTUP : A. KESIMPULAN : B. SARAN : BAB I PENDAHULUAN Telaah terhadap Ahlussunnah Wal Jama’ah ( Aswaja ) sebagai bagaian dari kajian keislaman –merupakan upaya yang mendudukkan aswaja secara proporsional, bukannya semata-mata untuk mempertahankan sebuah aliran atau golongan tertentu yang mungkin secara subyektif kita anggap baik karena rumusan dan konsep pemikiran teologis yang diformulasikan oleh suatu aliran, sangat dipengaruhi oleh suatu problem teologis pada masanya dan mempunyai sifat dan aktualisasinya tertentu. Pemaksaan suatu aliran tertentu yang pernah berkembang di era tertentu untuk kita yakini, sama halnya dengan aliran teologi sebagai dogma dan sekaligus mensucikan pemikiran keagamaan tertentu. Padahal aliran teologi merupakan fenomena sejarah yang senantiasa membutuhkan interpretasi sesuai dengan konteks zaman yang melingkupinya. Jika hal ini mampu kita antisipasi berarti kita telah memelihara kemerdekaan (hurriyah); yakni kebebasan berfikir (hurriyah al-ra’yi), kebebasan berusaha dan berinisiatif (hurriyah al-irodah) serta kebebasan berkiprah dan beraktivitas (hurriyah al-harokah). Berangkat dari pemikiran diatas maka persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana meletakkan aswaja sebagai metologi berfikir (manhaj al-fikr)?.Jika mengharuskan untuk mengadakan sebuah pembaharuan makna atau inpretasi, maka pembaharuan yang bagaimana bisa relevan dengan kepentingan Islam dan Umatnya khususnya dalam intern PMII. Apakah aswaja yang telah dikembangkan selama ini didalam tubuh PMII sudah masuk dalam kategori proporsional? Inilah yang mungkin akan menjadi tulisan dalam tulisan ini. BAB II PEMBAHASAN A.Latar Belakang & Historis Aswaja Melacak akar-akar sejarah munculnya istilah ahlul sunnah waljamaah, secara etimologis bahwa aswaja sudah terkenal sejak Rosulullah SAW. Sebagai konfigurasi sejarah, maka secara umum aswaja mengalami perkembangan dengan tiga tahap secara evolutif. Pertama, tahab embrional pemikiran sunni dalam bidang teologi bersifat eklektik, yakni memilih salah satu pendapat yang dianggap paling benar. Pada tahab ini masih merupakan tahab konsolidasi, tokoh yang menjadi penggerak adalah Hasan al-Basri (w.110 H/728 M). Kedua, proses konsolidasi awal mencapai puncaknya setelah Imam al-Syafi’I (w.205 H/820 M) berhasil menetapkan hadist sebagai sumber hukum kedua setelah Al- qur’an dalam konstruksi pemikiran hukum Islam. Pada tahab ini, kajian dan diskusi tentang teologi sunni berlangsung secara intensif. Ketiga, merupakan kristalisasi teologi sunni disatu pihak menolak rasionalisme dogma, di lain pihak menerima metode rasional dalam memahami agama. Proses kristalisasi ini dilakukan oleh tiga tokoh dan sekaligus ditempat yang berbeda pada waktu yang bersamaan, yakni; Abu Hasan al-Asy’ari (w.324 H/935 M)di Mesopotamia, Abu Mansur al-Maturidi (w.331 H/944 M) di Samarkand, Ahmad Bin Ja’far al-Thahawi (w.331 H/944 M) di Mesir. ( Nourouzzaman Shidiqi : 1996). Pada zaman kristalisasi inilah Abu Hasan al-Asy’ari meresmikan sebagai aliran pemikiran yang dikembangkan. Dan munculnya aswaja ini sebagai reaksi teologis-politis terhadap Mu’tazilah, Khowarij dan Syi’ah yang dipandang oleh As’ari sudah keluar dari paham yang semestinya. Lain dengan para Ulama’ NU di Indonesia menganggap aswaja sebagai upaya pembakuan atau menginstitusikan prinsip-prinsip tawasuth (moderat), tasamuh (toleran) dan tawazzun (seimbang). Perkembangkan selanjutnya oleh Said Aqil Shiroj dalam mereformulasikan aswaja sebagai metode berfikir (manhaj al-fikr) keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berdasarkan atas dasar modernisasi, menjaga keseimbangan dan toleransi, tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka memberikan warna baru terhadap cetak biru (blue print) yang sudah mulai tidak menarik lagi dihadapan dunia modern.. Dari segi bahasa, Ahlussunnah berarti penganut Sunnah Nabi, sedangkan Ahlul Jama’ah berarti penganut kepercayaan jama’ah para sahabat Nabi. Karena itu, kaum “Ahlussunnah wal Jama’ah” (ahl al-sunnah wa al-jamâ’ah) adalah kaum yang menganut kepercayaan yang dianut oleh Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya. Kepercayaan Nabi dan sahabat-sahabatnya itu telah termaktub dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi secara terpencar-pencar, yang kemudian dikumpulkan dan dirumuskan dengan rapi oleh seorang ulama besar, yaitu Syeikh Abu al-Hasan al-Asy’ari (lahir di Basrah tahun 260 H dan wafat di kota yang sama pada tahun 324 H dalam usia 64 tahun). Menurut Dr. Jalal Muhammad Musa dalam karyanya Nasy’ah al-Asy’âriyyah wa Tathawwurihâ, istilah Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) mengandung dua konotasi, ‘âmm (umum/global) dan khâshsh (spesifik). Dalam makna ‘âmm, Ahlussunnah wal Jama’ah adalah pembanding Syi’ah, termasuk Mu’tazilah dan kelompok lainnya, sedangkan makna khâshsh-nya adalah kelompok Asy’ariyah (pengikut mazhab Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari) dalam pemikiran kalam. Dr. Ahmad ‘Abd Allah At-Thayyar dan Dr. Mubarak Hasan Husayn dari Universitas Al-Azhar mengatakan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang mendapat petunjuk Allah Swt., dan mengikuti sunnah Rasul, serta mengamalkan ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah secara praktik dan menggunakannya sebagai manhaj (jalan pikiran) dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. (QS. al-Hasyr: 7). Dengan arti seperti di atas, apa yang masuk dalam kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah, pertama-tama adalah para sahabat Nabi, para tabi’in dan tabiit-tabi’in, serta semua orang yang mengikuti jalan Nabi Muhammad Saw. sampai hari kiamat kelak. Al-Ustadz Abu al-Faidl ibn al-Syaikh ‘Abd al-Syakur al-Sanori dalam karyanya kitab al-Kawâkib al-Lammâ’ah fî Tahqîq al-Musammâ bi ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah’ menyebut Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai kelompok atau golongan yang senantiasa setia mengikuti sunnah Nabi Saw., dan petunjuk para sahabatnya dalam akidah, amaliah fisik (fiqh) dan akhlak batin (tashawwuf). Kelompok itu meliputi ulama kalam (mutakallimûn), ahli fikih (fuqahâ) dan ahli hadits (muhadditsûn) serta ulama tashawuf (shûfiyyah). Jadi, pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah menurut ‘urf khâshsh (adat kebisaaan) adalah kelompok muhadditsin, shufiyah, Asy’ariyah dan Maturidiyah. Pengikut mereka inilah yang kemudian juga dapat disebut Ahlussunnah wal Jama’ah, dan selainnya tidak, dalam konteks ‘urf khâshsh tadi. Adapun menurut pengertian ‘âmm Ahlussunnah wal Jama’ah adalah kelompok atau golongan yang senantiasa setia melaksanakan Sunnah Nabi Saw. dan petunjuk para sahabatnya. Dengan kata lain, substansi Ahlussunnah wal Jama’ah adalah mereka yang memurnikan Sunnah, sedangkan lawannya adalah ahli bid’ah (ahl al-bid’ah). Ahmad Amin dalam Zhuhr al-Islâm, juga menjelaskan bahwa Sunnah dalam istilah Ahl al-Sunnah berarti hadits. Oleh karena itu, berbeda dengan kaum Mu’tazilah, Ahlussunnah percaya terhadap hadits-hadits sahih, tanpa harus memilih dan menginterpretasikannya. Adapun Jamâ’ah, dalam pandangan al-Mahbubi, adalah umumnya/mayoritas umat Islam (‘âmmah al-muslimîn) serta jumlah besar dan khalayak ramai (al-jamâ’ah al-katsîr wa al-sawâd al-a’zham). Secara lebih terperinci, al-Baghdadi menegaskan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah terdiri dari 8 (delapan) kelompok besar, yaitu: mutakallimin, fuqaha, ahli hadis, ahli bahasa, ahli qira’at, sufi atau zahid, mujahid, dan masyarakat awam yang berdiri di bawah panji-panji Ahlussunnah wal Jama’ah. Menurut Harun Nasution term Ahlussunnah wal Jamaah timbul sebagai reaksi terhadap faham-faham golongan mu’tazilah yang tidak begitu berpegang pada Sunnah atau tradisi karena meragukan keotentikan Sunnah. Selain itu Mu’tazilah bukan paham yang populer dikalangan rakyat biasa yang terbiasa dengan pemikiran yang sederhana. Karena persoalan itu muncullah term Ahlussunnah wal Jama’ah yang berarti golongan yang berpegang teguh pada Sunnah (tradisi) dan merupahan faham mayoritas ummat. Jika ditelusuri secara teoritis, definisi dari istilah Sunni/Aswaja akan sulit didapatkan secara pasti dan konsensus. Hal ini salah satunya disebabkan karena adanya perbedaan dalam menggunakan istilah sunni secara akademik dan politik. Terlepas dari perbedaan tentang pengertian Sunnah tadi terdapat persamaan bahwa Sunnah adalah kebiasaan Nabi baik berupa praktek ibadah maupaun praktek kehidupan Rasulullah sebagai makhluk sosial yang butuh berinteraksi dengan alam, manusia dan Tuhannya. Dalam perkembangan Islam Sunni dapat dipandang dengan dua perspektif yaitu Sunni sebagai pemikiran aliran dan Sunni sebagai sejarah politik. Pertama, Sunni sebagai pemikiran aliran yakni Sunni dalam dataran akademis tidak dibatasi oleh madzhab seperti pembatasan hanya ada dua imam dalam theologi (Asy’ariyah Dan Al-Maturidiyah), dua imam dalam bidang tasawuf (Al-Ghazali dan Junaidi), dan empat imam fiqh (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali). Dua definisi ini menggambarkan adanya definisi yang bersifat terminologis (ishthilâhiy) dan definisi yang bersifat substantif. Ini artinya, dalam istilah Ahlussunnah wal Jama’ah ada aspek jawhar atau hakekat dan ada aspek ‘ardl atau formal. Dalam dua aspek ini, apa yang mendasar adalah aspek jawhar-nya, sedangkan aspek ‘ardl-nya dapat mengalami revitalisasi dan pembaruan, karena terkait dengan faktor historis. Seperti diketahui, istilah Ahlussunnah wal Jama’ah muncul berkaitan dengan hadirnya mazhab-mazhab, sehingga ketika hasil pemikiran mazhab yang bersifat relatif, atau tidak absolut itu mengalami revitalisasi, maka pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah pun harus dikembalikan kepada arti substansinya. Pengertian substansi Ahlussunnah wal Jama’ah dalam konteks akidah adalah paham yang membendung paham akidah Syi’ah (dalam konteks historis juga paham akidah Mu’tazilah) yang dinilai sebagai kelompok bid’ah, yakni kelompok yang melakukan penyimpangan dalam agama karena lebih mengutamakan akal dari pada naql (Qur’an) dalam merumuskan paham keagamaan Islamnya. Dengan demikian, pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah secara substantif adalah kelompok yang setia terhadap sunnah, dengan menggunakan manhaj berpikir mendahulukan nashsh daripada akal. Sebagai gerakan, sebelum diinstitusikan dalam bentuk mazhab, kelompok ini melakukan pembaruan paham keagamaan Islam agar sesuai dengan Sunnah atau ajaran murni Islam (purifikasi), sehingga orang Barat menyebut Ahlussunnah wal Jama’ah dengan orthodox sunni school. Di antara kelompok yang berhasil melakukan pembaharuan seperti ini adalah pengikut Imam al-Asy’ari (Asy’ariyah). Dua Konsep Sunni Yang Patut Menjadi Referensi Pergerakan a. Konsep Maslahat Pemikiran sunni yang pada awalnya adalah respon terhadap kondisi umat islam yang chaos memang cenderung konservatif, dekat dengan penguasa dan terkesan tidak memberikan ruang yang lebih luas kepada rakyat untuk menyalurkan kepentingannya. Pemikiran Sunni seperti Ibnu Taimiyah, Al-Ghazali dan Al- Mawardi cenderung memberikan celah bagi terbentuknya kekuasaan yang otoriter. Ada beberapa pemikiran dasar Sunni yang sebenarnya menjadi embrio politik ekonomi yang memihak pada kepentingan rakyat diantaranya adalah konsep amanah, adil dan maslahat. Pertama, konsep maslahat. Bagi pemikir Sunni salah satu tujuan sebuah kekuasaan menurut pemikir Sunni adalah untuk mensejahtarakan rakyat. Dalam hal ini ada sebuah kaidah yang mengatakan stasharruful imam ‘ala al-ra’iyah manuthun bil maslahah (semua kebijakan pemimpin harus didasari pertimbangan kemaslahatan umat). Kaitannya dengan upaya membangun Visi kerakyatan fiqih, konsep maslahat setidaknya memberikan tiga kontribusi : pertama, menjaga keberpihakan pada kepentingan umum. Kedua, mengontrol kelompok yang mempunyai otoritas politik, ekonomi maupun intelektual dalam membuat kebijakan publik agar tidak didominasi oleh kepentingan individu atau golongan. Ketiga, menyelaraskan kepentingan syari’at dengan kepentingan manusia sebagai makhluk yang mempunyai kebutuhan dunia. b. Konsep Amanah Terkait dengan konsep amanah ada dua pemikiran Sunni yang pemikirannya telah populer pada saat ini, Imam Ghazali, Ibnu Taimiyah dan al- Mawardi. Mereka sepakat bahwa terbentuknya sebuah negara selain untuk menjamin terpeliharanya syariat dalam kehidupan manusia juga untuk menciptakan kemaslahatan kehidupan dunia manusia. Pendapat kedua pemikiran tadi memang tidak seekstrim teori kontrak sosial dalam kamus politik konvensional meskipun demikian konsep amanah yang ditawarkan Ibnu Taimiyah dan Al-Ghazali tadi merupakan modal untuk membangun konstruksi fiqih dengan visi kerakyatan yang kuat. Perkembangan Konsep Aswaja Di PMII Dalam alur besar pemikiran Ahlussunnah Wal Jama’ah ada dua pemahaman yang selama ini sering diperdebatkan. Yang pertama Aswaja dipahami sebagai sebuah madzhab yang sudah baku dan transeden. Misalnya dalam fiqh disandarkan pada empat imam yaitu imam Syafi’i, Hanafi, Hambali, dan Maliki, dua imam teologi Maturidi dan Imam Asy’ari dan dua imam tasawuf yaitu Imam Al- Junaidi dan Imam Ghazali. Konsep yang kedua memandang Aswaja sebagai metodologi berfikir (manhaj). Konsep Aswaja sebgai manhaj fikr lebih adaptif, eklektik dan mengakui pemikiran yang filosofis dan sosiologis. Pemahaman Aswaja tersebut dipopulerkan para kiai muda seperti Abdurrahman Wahid, Said Aqil Siraj dan tokoh-tokoh muda lainnya. Dalam sejarah PMII, kata independen bisa disebut kata suci. Bagi organisasi kemahasiswaan ini, perdebatan tentang independensi organisasi mempunyai sejarah paling panjang dan tidak habis-habisnya melahirkan kontroversi. Karena persoalan independensi itulah, melalui Mubes di Murnajati (Jatim) 14 juli 1971 PMII menyatakan diri putus hubungan dengan NU (organisasi yang pada awalnya menjadi induk PMII) secara struktural (baca deklarasi Murnajati). Meskipun demikian dilihat dari pola pikirnya dan landasan teologinya, ada kesamaan antara PMII dan NU, keduanya mencoba menjadi pengawal gerbang ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah. Hanya hanya saja PMII lebih mengembangkan Aswaja sebagai Ideologi elektik dan adaptif demi terwujudnya Islam rahmatan lil ‘alamin. Sebagaian besar kader PMII yang lahir dari kalangan pesantren masih memegang hirarki yudisial dalam sistem bermadzhab meskipun terkesan liberal dalam berfikir. Meskipun demikian penggunaan metodologi keilmuan seperti filsafat, sosiologi, linguistik, tidak bisa dipungkiri sangat dibutuhkan untuk menterjemahkan sumber hukum tersebut dalam konteks kekinian. Dengan pola pikir seperti itu, tokoh seperti KH. Said Aqiel, Gus Dur dan juga Ulil Abshar sering menjadi referensi bagi kader-kader PMII. Dalam perkembangan pemikiran selanjutnya, dalam konteks sosial keagamaan Aswaja diterjemahkan sebagai manhaj yang mengakui proses dialektika sejarah pemikiran dan pergerakan. Konsepsi Aswaja yang mengakui pemikiran yang filosofis yang sosiologis. Hal tersebut tentunya tidak lepas dari hasil perjuangan para kyai muda seperti Said Aqiel Siraj. Ia menawarkan definisi baru mengenai Aswaja sebagai manhaj. Secara sempurna definisi Aswaja menurutnya adalah; “ Manhaj Al-fikr Al-Diny al Syiml ‘Ala Syu’un Al Hayat wa Mu’tadlayatiha Al Khaim Ala Asas Al Tawasuh Wal Tawazzun Wal Al i’tidal Wa Al Tasamuh (metode berfikir keagamaan yang mencakup segala aspek kehidupan dan berdiri di atas prinsip keseimbangan, balancing, jalan tengah dan netral dalam aqidah penengah dalam permasalahan kehidupan sosial kemasyarakatan serta keadilan dan toleransi dalam politik). Dari paparan diatas sekiranya dapat diambil kesimpulan bahwa, PMII lebih condong untuk memakai Aswaja sebagai Manhaj Al-Fikr dari pada sebagai madzhab. Said Aqil Siraj mengatakan bahwa aswaja akan menjadi paradoks ketika Aswaja hanya dipahami sebagai madzhab. Karena hal ini bertentangan dengan fakta sejarah kelahiran Aswaja itu sendiri. Aswaja adalah paham inklusif bagi seluruh umat islam. Bukan milik organisasi atau institusi tertentu. B. ASWAJA SEBAGAI MANHAJ AL-FIKR Dalam wacana metode pemikiran, para teolog klasik dapat dikategorikan menjadi empat kelompok. Pertama, kelompok rasionalis yang diwakili oleh aliran Mu’tazilah yang pelopori oleh Washil bin Atho’, kedua, kelompok tekstualis dihidupkan dan dipertahankan oleh aliran salaf yang munculkan oleh Ibnu Taimiyah serta generasi berikutnya. Ketiga, kelompok yang pemikirannya terfokuskan pada politik dan sejarah kaum muslimin yang diwakili oleh syi’ah dan Khawarij, dan keempat, pemikiran sintetis yang dikembangkan oleh Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Didalam PMII Aswaja dijadikan Manhajul Fikri artinya Aswaja bukan dijadikan tujuan dalam beragama melainkan dijadikan metode dalam berfikir untuk mencapai kebenaran agama. Walaupun banyak tokoh yang telah mencoba mendekontruksi isi atau konsep yang ada dalam aswaja tapi sampai sekarang Aswaja dalam sebuah metode berfikir ada banyak relevansinya dalam kehidupan beragama, sehingga PMII lebih terbuka dalam mebuka ruang dialektika dengan siapapun dan kelompok apapun. Rumusan aswaja sebagai manhajul fikri pertama kali diintrodusir oleh Kang Said (panggilan akrab Said Aqil Siradj) dalam sebuah forum di Jakarta pada tahun 1991. Upaya dekonstruktif ini selayaknya dihargai sebagai produk intelektual walaupun juga tidak bijaksana jika diterima begitu saja tanpa ada discourse panjang dan mendalam dari pada dipandang sebagai upaya ‘merusak’ norma atau tatanan teologis yang telah ada. Dalam perkembangannya, akhirnya rumusan baru Kang Said diratifikasi menjadi konsep dasar aswaja di PMII. Prinsip dasar dari aswaja sebagai manhajul fikri meliputi ; tawasuth (moderat), tasamuh (toleran) dan tawazzun (seimbang). Aktualisasi dari prinsip yang pertama adalah bahwa selain wahyu, kita juga memposisikan akal pada posisi yang terhormat (namun tidak terjebak pada mengagung-agungkan akal) karena martabat kemanusiaan manusia terletak pada apakah dan bagaimana dia menggunakan akal yang dimilikinya. Artinya ada sebuah keterkaitan dan keseimbangan yang mendalam antara wahyu dan akal sehingga kita tidak terjebak pada paham skripturalisme (tekstual) dan rasionalisme. Selanjutnya, dalam konteks hubungan sosial, seorang kader PMII harus bisa menghargai dan mentoleransi perbedaan yang ada bahkan sampai pada keyakinan sekalipun. Tidak dibenarkan kita memaksakan keyakinan apalagi hanya sekedar pendapat kita pada orang lain, yang diperbolehkan hanyalah sebatas menyampaikan dan mendialiektikakan keyakinan atau pendapat tersebut, dan ending-nya diserahkan pada otoritas individu dan hidayah dari Tuhan. Ini adalah manifestasi dari prinsip tasamuh dari aswaja sebagai manhajul fikri. Dan yang terakhir adalah tawazzun (seimbang). Penjabaran dari prinsip tawazzun meliputi berbagai aspek kehidupan, baik itu perilaku individu yang bersifat sosial maupun dalam konteks politik sekalipun. Ini penting karena seringkali tindakan atau sikap yang diambil dalam berinteraksi di dunia ini disusupi oleh kepentingan sesaat dan keberpihakan yang tidak seharusnya. walaupun dalam kenyataannya sangatlah sulit atau bahkan mungkin tidak ada orang yang tidak memiliki keberpihakan sama sekali, minimal keberpihakan terhadap netralitas. Artinya, dengan bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa memandang dan memposisikan segala sesuatu pada proporsinya masing-masing adalah sikap yang paling bijak, dan bukan tidak mengambil sikap karena itu adalah manifestasi dari sikap pengecut dan oportunis. Melihat dari latar cultural dan politik sejarah kelahiran Aswaja, beserta ruang lingkup yang ada di dalamnya. Terminologi Aswaja yang sebagai mana kita pegangi selama ini, sehingga tidak jarang memunculkan paradigma jumud (mandeg), kaku, dan eksklusif atau bahkan menganggap sebagai sebuah madzhab dan idiologi yang Qod’i. Bagaimana mungkin dalam satu madzhab kok mengandung beberapa madzhab, dan bagaimana mungkin dalam satu idiologi ada doktrin yang kontradiktif antara doktrin imam satu dengan imam yang lain. Salah satu karakter Aswaja adalah selalu bisa beradaptasi dengan situasi dan kondisi, oleh karena itu Aswaja tidaklah jumud, tidak kaku, tidak eksklusif, dan juga tidak elitis, apa lagi ekstrim. Sebaliknya Aswaja bisa berkembang dan sekaligus dimungkinkan bisa mendobrak kemapanan yang sudah kondusif. Tentunya perubahan tersebut harus tetap mengacu pada paradigma dan prinsip al-sholih wa al-ahslah. Karena itu menurut saya implementasi dari qaidah al-muhafadhoh ala qodim al-sholih wa al-akhdzu bi al jadid alashlah. Adalah menyamakan langkah sesuai dengan kondisi yang berkembang pada masa kini dan masa yang akan datang. Yakni pemekaran relevansi implementatif pemikiran dan gerakan kongkrit ke dalam semua sector dan bidang kehidupan baik, aqidah, syariah, akhlaq, social budaya, ekonomi, politik, pendidikan dan lain sebagainya. Walhasil, Aswaja itu sebenarnya bukanlah madzhab. Tetapi hanyalah manhaj al-fikr atau paham saja, yang di dalamnya masih memuat beberapa aliran dan madzhab. Ini berarti masih terbuka luas bagi kita wacana pemikiran Islam yang transformatif, kreatif, dan inovatif, sehingga dapat mengakomodir nuansa perkembangan kemajuan budaya manusia. Atau selalu up to date dan tanggap terhadap tantangan jaman. Nah dengan demikian akan terjadi kebekuan dan kefakuman besar-besaran diantara kita kalau doktrin-doktrin eksklusif yang ada dalam Aswaja seperti yang selama ini kita dengar dan kita pahami dicerna mentah-mentah sesuai dengan kemasan praktis pemikiran aswaja, tanpa mau membongkar sisi metodologi berfikirnya, yakni kerangka berpikir yang menganggap prinsip tawassuth (moderat), tawazun (keseimbangan), ta’adul ( keadilan) dapat mengantarkan pada sikap yang mau dan mampu menghargai keberagaman yang non ekstrimitas (tatharruf) kiri ataupun kanan. Dalam sejarah tokoh pemikir Islam, kehadiran Abu Hasan al-Asya’ari dan Abu Manshur al-Maturidi, melalui pemikiran-pemikiran teologis kedua orang ini berhasil mempengaruhi pikiran banyak orang dan mengubah kecenderungan dari berpikir rasionalis ala Mu’tazilah kepada berpikir tradisionalis dengan berpegang pada sunnah Nabi. Asawaja dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya seperti tawassuth, tawazun tasamuh mampu tampil sebagai sebuah ajaran yang berkarakter lentur, moderat, dan fleksibel. Dari sikap yang lentur dan fleksibel tersebut barang kali yang bisa mengantarkan paham ini diterima oleh mayoritas umat Islam di Indonesia. BAB III PENUTUP A.Kesimpulan Ini bukanlah sesuatu yang saklek yang tidak bisa direvisi atau bahkan diganti sama sekali dengan yang baru, sebab ini adalah ‘hanya’ sebuah produk intelektual yang sangat dipengaruhi ruang dan waktu dan untuk menghindari pensucian pemikiran yang pada akhirnya akan berdampak pada kejumudan dan stagnansi dalam berpikir. Sangat terbuka dan kemungkinan untuk mendialektikakan kembali dan kemudian merumuskan kembali menjadi rumusan yang kontekstual. Karena itu, yakinlah apa yang anda percayai saat ini adalah benar dan yang lain itu salah, tapi jangan tutup kemungkinan bahwa semuanya itu bisa berbalik seratus delapan puluh derajat. B. Saran Kesempuranaan hanyalah milik sang pencipta, yakni Allah Swt. Kita hanya bisa berusaha dan berikhtiar saja, barang kali ini adalah hasil dari usaha serta ikhtiar penulis dan menuliskan berbagai referensi terkait aswaja, penulis mengharapkan koreksi serta masukan-masukan yang dapat membangun nalar berfikir penulis, semoga tulisan ini mampu bermanfaat bagi seluruh nusa dan bangsa. About these ads

Related Posts:

HAKIKAT MANUSIA HUBUNGANNYA DENGAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM


HAKIKAT MANUSIA HUBUNGANNYA DENGAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi Tugas makalah mata kuliah Ilmu Pendidikan Islam

Dosen Pengampu :Indry Nirma Yunizul Pesha,S.Pd.I,MAg
Disusun Oleh Kelompok 8
1.      Abdullah Baehaki
2.      M.Aries Firmansyah
3.      Neng Zahra
4.      Popi Pratiwi



SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL-AZHARY
CIANJUR
TAHUN 2014

KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrahiim,
Ungkapan Syukur yang teramat dalam dipersembahkan kehadirat Allah Azza Wajala, karena dengan pertolongan-Nya, penulisan makalah ini yaitu Hakikat Manusia Hubungannya Dengan Filsafat Pendidikan Islam akhirnya dapat diselesaikan sesuai rencana. Salawat dan salam dihaturkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad Saw. Karena perjuangan beliau kita dapat menikmati iman kepada Allah Swt.

Kajian makalah ini termasuk penting untuk menambah wawasan filosofis yang kajiannya mencakup pengertian hakekat Manusia serta mencoba menghubungkan dengan filsafat Pendidikan Islam, Bahan penulisan makalah ini adalah persiapan dan merupakan hasil diskusi yang telah kami rumuskan dengan berdasarkan kepada sumber buku-buku yang telah kami kaji sebelumnya.

Diharapkan hasil kajian ini bermanfaat bagi pihak pihak terkait sebagai upaya inovasi ilmiah untuk memperbanyak kazanah keilmuan, sebagai bahan komparasi, evaluasi dan pengembangan lebih lanjut sekaligus sebagai masukan dan bahan pertimbangan dalam melakukan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan Pendidikan Islam.
 Akhir kata penulis mohon maaf apabila masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan bagi peningkatan pengembangan  pendidikan Islam pada khususnya.




Cianjur, September 2014
Penulis




DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR ......................................................................................... i
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
A.      Latar Belakang Masalah....................................................................... 1
B.       Perumusan Masalah.............................................................................. 1
C.       Tujuan penelitian................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................... 3
A.       Hakikat Manusia................................................................................... 3
B.        Definisi Filsafat Pendidikan Islam ...................................................... 8
C.        Metode Pengembangan Filsafat Pendidikan Islam ............................. 10
BAB III KESIMPULAN..................................................................................... 11
A.       Kesimpulan .......................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 12
           






BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang Masalah
Di zaman Yunani, filsafat bukan merupakan suatu disiplin teoritis dan spesial, akan tetapi suatu cara hidup yang kongkret, suatu pandangan hidup yang total tentang manusia dan tentang alam yang menyinari seluruh kehidupan seseorang. Selanjutnya, dengan kehidupan atau perkembangan peradaban manusia dan problema yang di hadapinya, pengertian yang bersifat teoritis seperti yang di lahirkan filsafat Yunani itu kehilangan kemampuan untuk memberi jawaban yang layak tentang kebenaran peradaban itu telah menyebabkan manusia melakukan loncatan besar dalam bidang sains, teknologi, kedokteran dan pendidikan. Perubahan itu mendorong manusia memikirkan kembali pengertian tentang kebenaran. Sebab setiap terjadi perubahan dalam peradaban akan berpengaruh terhadap sistem nilai yang berlaku, karena antara perubahan peradaban dengan cara berfikir manusia terdapat hubungan timbal balik. Pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik. Karenanya pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan, organis, dinamis, guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan, melalui filsafat kependidikan.Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam studi mengenai masalah-masalah pendidikan.
B.            Perumusan Masalah
Maka untuk merumuskan permasalahan tersebut, perlu adanya sistematika analitik untuk mencapai sasaran yang menjadi objek kajian, sehingga pembahasan akan lebih terarah pada pokok masalah. Hal ini dimaksudkan agar terhindar dari pokok masalah dengan pembahasan yang tidak fokus dan tidak ada relevansinya.
1.             Bagaimana hakikat manusia hubungannya dengan Filsafat pendidikan Islam
2.             Apa yang dimaksud dengan filsafat pendidikan Islam?
C.           Tujuan Penelitian
Maksud dari pembuatan makalah ini adalah supaya mahasiswa dapat memahami secara menyeluruh mengenai filsafat pendidikan. Selain itu, tujuan dari dibuatnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Landasan Pendidikan agar mahasiswa mendapatkan nilai. Inginmengetahui bagaimanakah?
1.         Ingin mengetahui hakikat manusia hubungannya dengan Filsafat pendidikan Islam
2.         Ingin mengetahuiapa yang dimaksud dengan filsafat pendidikan Islam?





BAB II
PEMBAHASAN
HAKIKAT MANUSIA HUBUNGANNYA DENGAN
 FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

A.                Hakikat Manusia
Al insan hayawan nathiq yang berarti manusia adalah hewan (makhluk) yang mampu berfikir.Ungkapan ini setidaknya dapat memberikan gambaran bahwa mannusia merupakan salah satu hewan. Namun ia memiliki kelebihan dari pada hewan dengan potensi akal yang diberikan Sang Pencipta, Ia mampu mengenal dirinya dan Tuhannya serta mengembangkan segala potensi yang diberikan Tuhannya, Sehingga ia mampu untuk berpikir dengan baik serta mampu bersikap kritis  dan rasional dengan berusaha mencari pembenaran dari apa yang ia pikirkan yang ia anggap belum logois dan belum  sesuai dengan apa yang dia pikirkan.
Manusia adalah termasuk makhluk yang Homo Sapiens, artinya makhluk yang bisa dan dapat berfikir, lalu kapan manusia itu berpikir? Apakah karena nalurinya ataukah cuma kesenangannya memang berpikir? Kalau kita kaji dalamdalam pertanyaan ini, maka ternyata bahwa bukan itu penyebabnya. Manusia berpikir kalau dia sedang menghadapi masalah.Masalah itu bisa bermacam-macam, dari masalah yang sangat sepele sampai masalah yang sangat mustahil.Ada masalah yang secara mudah dapat dipecahkan dan ada pula yang harus memeras otak.Mungkin ada pula masalah yang tidak dapat dipecahkan.Menghadapi masalah-masalah inilah manusia memusatkan perhatiannya dan tenggelam dalam berpikir.
Namun dalam usaha meningkatkan kualitas sumber daya insaninya itu, manusia diikatkan oleh nilai-nilai yang telah ditentukan oleh Penciptanya (aksiologi).Dengan demikian manusia dalam pandangan filsafat pendidikan Islam adalah sebagai makhluk alternatif (dapat memilih), tetapi kepadanya ditawarkan pilihan nilai yang terbaik, yaitu nilai Ilahiyat. Di satu sisi ia memiliki kebebasan untuk memilih arah, di lain pihak manusia diberi pedoman ke mana arah yang terbaik yang semestinya ia tuju. Manusia dapat dikategorikan sebagai makhluk bebas (alternatif) dan sekaligus terikat (tidak bebas nilai).
Selanjutnyasecara garis besarnya potensi tersebut terdiri atas empat potensi utama yang secara fitrah sudah dianugerahkan Allah kepadanya, yaitu:

a)                  Hidayat al-Gharizziyat (potensi naluriah)
Dorongan ini merupakan dorongan primer yang berfungsi untuk memelihara keutuhan dan kelanjutan hidup manusia.
Diantaranya dorongan berupa instink untuk memelihara diri, seperti makan, minum dan penyesuaian tubuh dengan lingkungan.Dorongan yang kedua yaitu dorongan untuk mempertahankan diri.Bentuk dorongan ini berupa nafsu marah, bertahan atau menghindar dari gangguan yang mengancam dirinya.Dorongan yang ketiga, berupa dorongan untuk mengembangkan jenis.Dorongan ini berupa aluri seksual.
Ketiga macam dorongan tersebut melekat pada diri manusia secara fitrah. Diperoleh tanpa harus melalui proses belajar. Karena itu dorongan ini disebut sebagai dorongan naluriah (instinktif).Dorongan yang siap pakai, sesuai dengan kebutuhan dan kematangan perkembangannya.

b)                  Hidayat al-Hassiyat (potensi indrawi)
Potensi indrawi erat kaitannya dengan peluang manusia untuk mengenal sesuatu di luar dirinya. Melalui indra yang dimilikinya, manusia dapat mengenal suara, cahaya, warna, rasa, bau dan aroma maupun bentuk sesuatu. Jadi indera berfungsi sebagai media yang menghubungkan manusia dengan dunia luar dirinya.
Potensi indrawi yang umum dikenal terdiri atas indera penglihat, pencium, peraba, pendengar dan perasa. Namun di luar itu masih ada sejumlah alat indera dalam tubuh manusia seperti antara lain indera keseimbangan dan taktil. Potensi tersebut difungsikan melalui pemanfaatan alat indera yang sudah siap pakai seperti mata, telinga, hidung, lidah, kulit dan otak maupun fungsi syaraf.

c)                  Hidayat al-Aqliyyat (potensi akal)
Hidayat ini hanya dianugerahkan Allah kepada manusia.Adanya potensi ini menyebabkan manusia dapat meningkatkan dirinya melebihi makhluk-makhluk lain ciptaan Allah.
Potensi akal memberi kemampuan kepada manusia untuk memahamisimbol-simbol, hal-hal yang abstrak, menganalisa, membandingkan maupunmembuat kesimpulan dan akhirnya memilih maupun memisahkan antara yangbenar dari yang salah.Kemampuan akal mendorong manusia berkreasi danberinovasi dalam menciptakan kebudayaan serta peradaban.Manusia dengankemampuan akalnya mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknoogi,mengubah serta merekayasa lingkungannya, menuju situasi kehidupan yanglebih baik, aman dan nyaman.

d)                 Hidayat al-Diniyyat (potensi keagamaan)
Pada diri manusia sudah ada potensi keagamaan, yaitu berupadorongan untuk mengabdi kepada sesuatu yang dianggapnya memilikikekuasaan yang lebih tinggi. Dalam pandangan antropolog, dorongan inidimanifestasikan dalam bentuk percaya terhadap kekuasaan supernatural(believe in supernatural being).
Manusia sempurna menurut Islam adalahmanusia yang memiliki kriteria sebagai berikut:
1.                  Jasmani yang sehat serta kuat dan berketrampilan.
Orang Islam perlu memiliki jasmani yang sehat dan kuat, terutamaberhubungan dengan keperluan penyiaran dan pembelaan serta penegakanajaran Islam.Dilihat ari ini maka Islam mengidealkan Muslim yang sehat sertakuat jasmaninya.Islam menghendaki agar orang Islam itu sehat mentalnya karena intiajaran Islam (iman) adalah persoalan mental.Kesehatan mental berkaitan eratdengan kesehatan jasmani.Karena kesehatan mental penting, maka kesehatanjasmani pun penting pula.Karena kesehatan jasmani sering berkaitan denganpembelaan Islam, maka sejak permulaan sejarahnya pendidikan jasmani (agarsehat dan kuat) diberikan oleh para pemimpin Islam.
2.                  Cerdas dan Pintar
Islam menginginkan pemeluknya cerdas serta pandai.Itulah ciri akal yangberkembang secara sempurna.Cerdas ditandai oleh adanya kemampuanmenyelesaikan masalah dengan cepatt dan tepat, sedangkan pandai ditandaioleh banyak memiliki pengetahuan, jadi banyak memiliki informasi. Salah satuciri Muslim yang cerdas dan pandai memiliki indikator-indikator sebagai berikut:
Pertama, memiliki sains yang banyak dan berkualitas tinggi.Sains adalahpengetahuan manusia yang merupakan produk indera dan akal; dam sainskelihatan tinggi atau rendahnya mutu akal.Orang Islam hendaknya tidakhannya menguasai teori-teori sains, tetapi berkemampuan pula menciptakanteori-teori baru dalam sains, termasuk teknologi.Kedua, mampu memahamidan menghasilkan filsafat.Berbeda dengan sains, filsafat adalah jenispengetahuan yang semata-mata akliah. Dengan ini, orang Islam akan mampumemecahkan masalah filosofis.
3.                  Rohani yang Berkualitas Tinggi
Rohani yang diuraikan disini ialah aspek manusia selain jasmani dan akal(logika). Rohani itu samar, ruwet, belum jelas batasannya; manusia belum (atautidak akan) memiliki cukup pengetahuan untuk mengetahui hakikatnya.Kebanyakan buku tashawuf dan pendidikan Islam menyebutnya qalb (kalbu)saja.Dalam hal ini yang dimaksud kalbu yang berkualitas tinggi adalah kalbuyang penuh berisi iman kepada Allah; atau dengan ungkapan lain, kalbu yangtakwa kepada Allah swt.Kalbu yang penuh iman itu mempunyai gejala-gejala yang amat banyak;katakanlah rinciannya amat banyak. Kalbu yang iman itu ditandai bila orangnyashalat, ia shaat dengan khusuk (al-Mu’min:1-2); bila mengingat Allah, kulit danhatinya tenang (al-Zumar:23); bila disebut nama Allah, bergetar hatinya (al-Hajj:34-35); bila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, mereka sujud danmenangis (Maryam:58, al-Isra’:109). Itulah ciri utama hati yang penuh iman dantaqwa.Dari situlah akan muncul manusia yang berpikir dan bertindak sesuaidengan kehendak Tuhan.
Sedang menurut Jalaluddin (2002: 46) konsep pendidikan menurutpandangan Islam harus dirujuk dari berbagai aspek, antara lain aspek keagamaan,aspek kesejahteraan, aspek kebahasaan, aspek ruang lingkup dan aspek tanggungjawab. Adapun yang dimaksud dengan aspek keagamaan adalah bagaimanahubungan Islam sebagai agama dan pendidikan.Maksudnya adalah, apakah ajaranIslam memuat informasi pendidikan hingga dapat dijadikan sumber rujukandengan penyusunan konsep pendidikan.Sedangkan aspek kesejahteraan merujukkepada latar belakang sejarah pemikiran para ahli tentang pendidikan dalam Islamdari zaman ke zaman, khsusus mengenai ada tidaknya peran Islam dalam bidangpendidikan dalam kaitannya dengan peningkataan kesejahteraan hidup manusia.
Kemudian yang dimaksud dengan aspek kebahasaan adalah bagaimanapembentukan konsep pendidikan atas dasar pemahaman secara etimologis.Selanjutnya aspek ruang lingkup diperluan untuk mengetahui tentang batas-batskewenangan pendidikan menurut ajaran Islam. Demikian pula perlu diketahuisiapa yang dibebankan tugas dan kewenangan untuk melakukan pekerjaanmendidik, yaitu siapa saja yang menurut islam dibebankan kewajiban itu.
Tujuan pendidikan Islam dirumuskandari nilai-nilai filosofis yang kerangka dasarnya termuat dalam filsafat pendidikanIslam.Seperti halnya dasar pendidikannya maka tujuan pendidikan Islam jugaidentik dengan tujuan Islam itu sendiri.
Sejalan dengan tujuan tersebut, maka filosofis pendidiakn Islam bertujuansesuai dengan hakikat penciptaan manusia yaitu agar manusia menjadi pengabdiAllah yang patuh dan setia (QS 51:56).Tujuan ini tidak mungkin dicapai secarautuh, secara sekaligus. Perlu proses dan pentahapan. Secara garis besarnya tujuanpendidikan Islam dapat dilihat dari tujuh dimensi utama, sebagai berikut; (1)dimensi hakikat penciptaan manusia, (2) dimensi tauhid (3) dimensi moral, (4)dimensi perbedaan individu, (5) dimensi sosial, (6) dimensi profesional, dan (7)dimensi ruang dan waktu.

B.                 Definisi Filsafat Pendidikan Islam
Istilah "filsafat" dapat ditinjau dari dua segi, yakni:segi semantic: kata filsafat berasal dari bahasa arab "falsafah" yang berasal dari bahasa yunani,"fhilosophia", yang berarti philos artinya cinta,suka dan Sophia artinya pengetahuan,hikmah.jadi "philoshopia"berarti cinta kepada kebijaksanaan,kearifan atau cinta kepada kebenaran.Segi praktisnya:filsafat berarti alam pikiran.filsafat adalah hasil akal manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya.Dengan kata lain filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sunguh-sunguh hakikat kebenaran segala sesuatu.
Berbagai pendapat para ahli yang mencoba merumuskan pengertianfilsafat pendidikan islam.Muzayyin Arifin bependapat tentang filsafat pendidikan islam adalah konsep berfikir tentang kependidikan yang bersumberkan atau berlandaskan ajaran-ajaran agama islam hakekat kemampuan manusia untuk dapat dibina dan dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia muslim yang seluruh pribadinya dijiwai oleh agama islam.Definisi ini memberi kesan bahwa filsafat pendidikan islam sama dengan filsafat pada umumnya.Dalam arti bahwa filsafat pendidikan islam mengkaji tentang berbagai masalah yang ada hubungannya dengan pendidikan,seperti manusia sebagai subyek dan obyek pendidikan,kurikulum,metode,lingkungan, guru dan sebagainya.Bedanya dengan filsafat pendidikan pada umumnya adalah bahwa didalam filsafat pendidikan islam,semua masalah kependidikan tersebut selalu didasarkan pada ajaran islam yang bersumberkan al-quran dan al-hadist.Denag kata lain bahwa kata islam yang mengiringi kata filsafat pendidikan itu menjadi sifat,yakni sifat dari filsafat pendidikan tersebut.
Ahmad d.marimba mengatakan bahwa filsafat pendidikan islam bukanlah filsafat pendidikan tanpa batas.Adapun pendapat Omar Muhammad al-tomy al-saibany: menurutnya bahwa filsafat pendidikan islam tidak lain ialah pelaksanaan pandangan filsafat dari kaidah filsafat islam dalam bidang pendidikan yang  didasarkan dalam ajaran islam.Dari pendapat-pendapat diatas dapat kita ketahui bahwa filsafat pendidikan islam itu merupakan kajian secara filosofis mengenai berbagai masalahyang terdapat dalam kegiatan pendidikan yang didasarkan pada al-quran dan al-hadist sebagai sumber primer,dan pendapat para ahli, khususnya para filosofis muslim,sebagai sumber sekunder.Selain itu filsafat pendidikan islam dapat pula dikatakan suatu upaya menggunakan jasa filsafat,yakni berfikir secara mendalam,sistematik.Filsafat pendidikan islam secara singkat dapat dikatakan adalah filsafat pendidikan yang berlandaskan ajaran islam atau filsafat pendidikan yang di jiwai oleh ajaran islam.Jadi ia bukan filsafat yang bercorak liberal,bebas, tanpa batas etika sebagaimana dijumpai dalam pemikiran filsafat pada umumnya.
Kegunaan Filsafat Pendidikan Islam:Omar Muhammad al-taomy al saibny mengemukakan tiga manfaat dari mempelajari filsafat pendidikanislam tersebut sebagai berikut:

1.            Filsafat pendidikan itu dapat menolong para perancang pendidikan dan orang-orang yang melaksanakannya dalam suatu negara untuk membentuk pemikiran sehat terhadap sistem pendidikan.
2.            Filsafat pendidikan dapat menjadi asas yang terbaik untuk penilain pendidikandalam arti yang menyeluruh.penilaian pendidikan itu dianggap persoalan perlu bagi setiap pengajaran yang baik.
3.            Filsafat pendidikan islam akan menolong dalam memberikan pendalaman bagi faktor-faktor spiritual,kebudayaan,sosial, ekonomi dan politik dinegara kita.
Fungsi pendidikan lebih konkrit lagi dijelaskan oleh Ahmad D.Marimba.Menurutnya bahwa filsafat pendidikan islam dapat menjadi pegangan pelaksanaan pendidikan yang menghasilkan generasi-generasi baru yang berkepribadian muslim.Muzayyin Arifin menyimpulkan bahwa filsafat pendidikan islam itu seharusnya bertugas dalam 3 dimensi, yakni :
1.      Memberikan landasan dan sekaligus mengarahkan kepada proses pendidikan yang berdasarkan islam.
2.      Melakukan kritik dan koreksi terhadap proses pelaksanaan pendidikan tersebut
3.      Melakukan evaluasi terhadap metode yang digunakan dalam proses tersebut.




C.                Metode Pengembangan Filsafat Pendidikan Islam
Filsafat pendidikan islam sudah dipastikan memiliki metode pengembangan dan pengkajiannya yang khas,karena metode inilah sesungguhnya yang memberikan petunjuk operasional dan teknis dalam mengembangkan suatu ilmu.
Metode pengembangan filsafat pendidikan islam ini.Sebagai suatu sumber, pengembangan sutu ilmu biasanya memerlukan empat hal sebagai berikut:
Pertama,bahan-bahan yang akan digunakan untuk pengembangan filsapat pendidikan.Kedua, metode pencarian bahanKetiga, metode pembahasan
Keempat, pendekatan
Itulah langkah pokok yang dapat digunakan untuk mengkaji dan mengembangkan filsapat islam. Jika seseorang misalnya ingin meneliti masalah pendidikan islam, dan hasil penenlitiannya itu ingin di bukukan, maka cara tersebut di atas dapat membantu sekedarnya.




BAB III
KESIMPULAN
A.                Kesimpulan
Manusia adalah termasuk makhluk yang Homo Sapiens, artinya makhluk yang bisa dan dapat berfikir. Manusia dalam pandangan filsafat pendidikan Islam adalah sebagai makhluk alternatif (dapat memilih), tetapi kepadanya ditawarkan pilihan nilai yang terbaik, yaitu nilai Ilahiyat.secara garis besarnya potensi manusia terdiri atas empat potensi utama yang secara fitrah sudah dianugerahkan Allah kepadanya, yaitu:Hidayat al-Gharizziyat (potensi naluriah), Hidayat al-Hassiyat (potensi indrawi), Hidayat al-Aqliyyat (potensi akal), Hidayat al-Diniyyat (potensi keagamaan).Manusia sempurna menurut Islam adalah manusia yang memiliki kriteria sebagai berikut: Jasmani yang sehat serta kuat dan berketrampilan, Cerdas dan Pintas, Rohani yang Berkualitas Tinggi.
filosofis pendidiakn Islam bertujuan sesuai dengan hakikat penciptaan manusia yaitu agar manusia menjadi pengabdi Allah yang patuh dan setia (QS 51:56). Tujuan ini tidak mungkin dicapai secara utuh, secara sekaligus. Perlu proses dan pentahapan. Secara garis besarnya tujuan pendidikan Islam dapat dilihat dari tujuh dimensi utama, sebagai berikut; (1) dimensi hakikat penciptaan manusia, (2) dimensi tauhid (3) dimensi moral, (4) dimensi perbedaan individu, (5) dimensi sosial, (6) dimensi profesional, dan (7) dimensi ruang dan waktu.








DAFTAR PUSTAKA

Nata,Abuddi.2005.Filsafat pendidikan islam.Jakarta:Gaya media pratama
Prof. Dr. H. Sopyan Saun, M.Pd., Dkk. 2010. Filsafat Ilmu Pendidikan Agama. Bandung. CV. Arvino Raya
Prof. Dr. Jamali Sahrodi, M.Ag. 2011.Filsafat pendidikan islam. Bandung. CV. Arvino Raya
Dr. Amsal Bakhtiar, M.Ag. 2005. Filsafat Imu. Jakarta. Grapindo Persada
Yayau Sunarya, M.Pd. 2012. Pengantar Filsafat Islam. Bandung. CV. Arvino Raya


Related Posts: